Sejumlah guru, kepala desa dan pengasuh pondok pesantren lagi-lagi kesal dengan perilaku oknum wartawan yang kerap neror dan melakukan pemerasan.
DARA – Salah seorang guru menuturkan kedatangan para oknum wartawan itu tidak jelas tujuannya. Bahkan, malah meresahkan para guru yang tengah mengajar di sekolah.
“Modus mereka beragam, terutama ketika ada pembangunan di sekolah. Mereka datang berkelompok dan mempersoalkan masalah proyek pembangunan tanpa disertai data. Ujung-ujungnya mereka meminta uang. Akhirnya kami menjadi alergi dengan semua wartawan, termasuk wartawan yang benar,” ujarnya, Kamis (1/4/2021).
Hal senada dialami seorang guru ngaji. Ia sering kedatangan banyak wartawan yang mempertanyakan terkait penggunaan bantuan operasional pesantren (BOP) akibat terdampak Covid-19.
Para oknum wartawan yang konfirmasi langsung menuding pihaknya menyalahgunakan anggaran tersebut. Padahal sudah dijelaskan SPJ nya.
“Sudah kami berikan keterangan, ujungnya minta uang dengan alasan beragam,”ujarnya.
Menanggapi keresahan itu, Ketua PWI Majalengka, Jawa Barat, Jejep Falahul Alam menegaskan, semua wartawan baik media cetak, elektronik, online, radio, itu tidak kebal hukum, sehingga wartawan tidak bisa sesuka hati memberitakan, yang sesungguhnya hal itu dapat merugikan orang lain.
“Negara kita negara hukum siapa pun yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkannya. Baik dilakukan oknum wartawan, oknum polisi, oknum pejabat, oknum TNI dan oknum profesi lainnya,” ujarnya saat menerima konsultasi seorang guru yang kerap didatangi para wartawan di sekolahnya.
Dia menegaskan, biasanya kecenderungan wartawan yang menyerang seseorang atau lembaga tidak punya itikad baik dan patut dicurigai maksud dan tujuannya.
Karena tindakan itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik atau masuk dalam kasus delik pers.
“Wartawan mungkin saja melakukan pelanggaran kaidah jurnalistik karena kurang memahami UU Pers. Tapi wartawan yang profesional itu bekerja harus mengacu pada Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 tentang pers sebagai rambu-rambu dalam menjalankan profesinya,” ujar Jejep Falahul Alam.
Jejep mengatakan, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan akibat pemberitaan wartawan, disarankan agar melakukan hak jawab atau melaporkan ke Dewan Pers.
Jika hal ini sudah ditempuh dan tidak ada solusi, baru dapat menempuh jalur hukum sesuai dengan perundang undangan yang berlaku.
Begitu pula jika ada wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik di halang-halangi, itu pun tidak dibenarkan, karena melanggar UU Pers atau bisa didenda sebesar Rp 500 juta.
“UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik ini diharapkan menjadi pedoman bagi wartawan dalam menjalankan tugas profesinya,” katanya.
“Terus juga kalau ada berita tudingan misalnya terkait korupsi, tanpa disertai fakta, itu bisa masuk kasus delik pers yang melanggar UU Pers,” paparnya.***
Editor: denkur