DARA | JAKARTA – Kelompok pro kemerdekaan Papua, The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) melayangkan petisi referendum ke Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pekan lalu. Langkah ini menguatkan posisi tawar masyarakat Papua dengan pemerintah pusat, Jakarta.
Akademisi Universitas Cenderawasih, Jayapura, Marinus Yaung mengatakan, posisi masyarakat Papua dalam menuntut keadilan masih lemah saat berhadapan dengan pemerintah pusat.
Sementara itu, ULMWP kembali menyoroti dugaan penggunaan senjata kimia di Nduga pasca diserahkannya petisi referendum itu, sehingga ULMWP mendesak Forum Kepulauan Pasifik untuk membentuk Misi Pencari Fakta mengenai Papua Barat untuk menyelidiki laporan penggunaan senjata kimia dan pembunuhan warga sipil, terutama di Nduga.
Kepala Penerangan Komando Daerah Militer Cenderawasih, Muhammad Aidi, mengatakan, klaim ULMWP itu tak berdasar fakta. “Segala yang disampaikan Benny Wenda itu pemutarbalikan fakta, tidak ada sama sekali dasarnya. Ini adalah upaya untuk mengaburkan persoalan, sehingga masyarakat nasional dan internasional lupa bahwa separatis melakukan pembantaian di Papua,” ujarnya.
Dugaan penggunaan senjata kimia ini mulai mencuat setelah media Australia, The Saturday Paper, melaporkan bahwa militer Indonesia menggunakan senjata kimia, diduga bom fosfor, dalam operasi pemberantasan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
“Gambar bom yang disebarkan foto-foto itu hanya asap. Bom fosfor tidak seperti itu. Lagipula, kalau memang ada senjata kimia, tentu dampaknya akan luas. Ini tidak ada. Semua tidak berdasarkan fakta,” ujar Muhammad.
Pemimpin ULMWP, Benny Wenda, kembali melempar isu ini setelah ia mengklaim sudah menyerahkan petisi mengenai referendum pembebasan Papua Barat yang ditandatangani 1,8 juta orang ke Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Michelle Bachelet.
Namun, menurut Muhammad, Benny lagi-lagi berbual. Ia mengatakan bahwa tidak mungkin petisi itu ditandatangani oleh 1,8 juta orang Papua Barat.
“Jumlah itu sangat tidak mendasar. Jumlah penduduk di Papua Barat 2,5 juta dan 70 persen di antaranya masih hidup di masa prasejarah, bahkan tidak punya data kependudukan. Bagaimana bisa ada 1,8 juta orang tanda tangan?” katanya.***
Editor: denkur
Bahan: CNN