Salah seorang petani di Desa Tenjolaya Kecamatan Pasirjambu, Aki Dadi (70) mengaku tidak nyaman bertani sejak adanya proyek agro organik yang diinisi PT Kotak Jiwa Sejahtera (KJS).
DARA – Ia meminta agar proyek yang memanfaatkan lahan pribadi dan lahan carik Desa Tenjolaya tersebut dihentikan saja karena dianggap merusak lingkungan.
“Untuk masyarakat yang di bawah dampaknya nggak bagus, bisa mencelakakan yang dibawah karena ada air yang ditutup dari atas,” kata Aki Dadi melalui sambungan telepon, Senin (24/5/2021).
Ia sendiri mengaku tidak menggarap pertanian di lahan carik, namun ia turut merasa prihatin terhadap rekan-rekan petani disana. Menurutnya, jika lahan carik dipakai untuk agro organik oleh pihak perusahaan, maka akan ada petani disana yang tergusur.
“Ada petani yang merupakan masyarakat kecil disana yang dirugikan karena tergusur, kan lahannya disewa oleh perusahaan,” ujarnya.
Aki Dadi menyebut, dari awal masyarakat tidak pernah mengijinkan adanya proyek tersebut, bahkan masyarakat sempat melakukan protes ke pemerintah desa ketika ada dampak dari penutupan air di atas.
“Ada dua liran sungai ditutup diatas, jadi ke bawah itu dampaknya air ke Desa Cisondari dan Desa Tenjolaya jadi keruh, bahkan sempet ada yang demo dari RW 12 sebagian masyarakat itu selama satu pekan nggak kebagian air ke rumah tangga buat minum, mandi, dan lainnya. Kami berharap, proyek tersebut dihentikan saja. Kami sih sebagai petani inginnya sejahtera dan nyaman aja,” tutupnya.
Sementara itu, Kepala Desa Tenjolaya Is Somantri mengaku memang proyek agro organik tersebut belum mendapatkan ijin dari masyarakat, terlebih ia sendiri belum pernah menandatangani ijin atas proyek tersebut. Namun, menurutnya saat ini pihak pengembang memang sedang memproses perijinan tersebut.
Is mengatakan pihak pengembang terlalu bersemangat untuk segera melaksanakan kegiatan di proyek tersebut sehingga melupakan hal yang seharusnya ditempuh tetapi dengan adanya perhatian dari berbagai pihak, itu membuat pihak pengembang menjadi lebih bersemangat untuk menyelesaikan perijinan.
“Setelah adanya sorotan dari berbagai pihak, pengembang pun lebih mempercepat proses perijinan proyek lahan organik tersebut,” katanya di Soreang, Senin (24/5/2021).
Permasalahan yang sebelumnya mencuat, menurut Is karena adanya kesalahpahaman antara masyarakat terkait tersumbatnya saluran air, padahal sebetulnya aliran air itu masih ada karena dibawahnya dibuatkan saluran melalui pipa.
“Jadi maklumlah raksi masyarakat, hanya hikmahnya bagi saya dengan adanya reaksi seperti itu membangkitkan semua pihak untuk menjadi pemerhati terutama pihak pengembang sekarang jadi lebih cepat untuk memproses untuk melegalkan kegiatan tersebut,” paparnya.
Terkait adanya pembabatan area disana, Is mengatakan itu merupakan lahan pribadi milik pengembang, namun pihaknya sudah mengingatkan terkait hal itu. Sementara lahan carik seluas empat hektar yang dimanfaatkan oleh pihak pengembang itu tidak dibongkar karena masih dipakai sebagai lahan pertanian.
“Jadi tidak seperti yang di gambar, tidak dikeruk, itu kan berjauhan, lahan carik tidak berubah posturnya, tidak dibongkar, tidak dikeruk, nantinya lahan carik itu akan bermitra antara Pemdes dengan masyarakat yang mengelola itu,” jelasnya.
Ia pun meyakinkan petani disana tidak akan tergusur, justru adanya lahan agro organik akan bermanfaat bagi petani itu sendiri, karena penjualan hasil pertaniannya kepada pihak pengembang, modalnya pun diberi dari pengembang.
“Mereka justru terdidik menjadi petani yang profesional yang tidak menggunakan kimia,” katanya.
Pihak pemerintah Desa Tenjolaya sendiri menurut Is sudah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, justru kemitraan itu akan menguntungkan bagi masyarakat. Selain manfaat di bidang pertanian, uang sewa lahan carik dari pihak pengembang sudah dipergunakan untuk membeli tanah guna membangun gedung olahraga (GOR) desa.
Biaya sewa lahan carik tersebut adalah Rp.60 juta untuk tiga tahun kedepan, tetapi untuk biaya pembelian lahan untuk GOR desa adalah sebesar Rp.400 juta, sehingga pihak pengembang dengan sukarela menambah uang pembelian tanah tersebut.
“Mereka (pengembang) ngasih secara cuma-cuma sebesar Rp.340 juta untuk menambah membeli lahan untuk pembangunan GOR itu,” kata Is.
Luas seluruh lahan carik milik Desa Tenjolaya adalah 25 hektar, namun yang disewakan kepada pengembang hanya 4 hektar itupun hanya tanah pinggiran yanv tidak produktif saja, sementara sisanya 21 hektar masih digarap oleh petani.
“Kalau lahan yang bagusnya justru dipakai oleh petani sampai sekarang.” katanya.
Is mengungkapkan, pihak pengembang sebenarnya tidak menginginkan tanah carik tersebut, namun pihak pemerintah Desa Tenjolaya yang medesak agar tanah carik tersebut disewa dan uangnya digunakan untuk membeli tanah guna membangun GOR desa.
“Kami butuh tanah untuk pembangunan GOR, sampai saat ini desa tidak bisa membeli tanah karena tidak ada anggaran untuk itu, sementara Dana Desa sangat tidak boleh dipakai untuk itu, jadi kami berupaya bagaimana caranya agar desa kami maju. Nah, kebetulan ada pengembang ya kami tawarkan itu, uangnya pun tidak masuk ke saya tetapi melalui kas desa, kita lebih untung,” paparnya.
Terkait dampak lingkungan yang mungkin terjadi, Is mengatakan itu tidak akan berpengaruh langsung pada masyarakat sebab lahannya cukup jauh dari pemukimam warga.
“Paling lahan pertanian yang dibawah aja yang kena,” pungkasnya.***
Editor: denkur