Palestina, 73 tahun tak kunjung mendapatkan haknya sebagai bangsa mendirikan negara sebagaimana anggota PBB lainya hingga sekarang. Sedangkan Israel telah menjelma menjadi negara khusus Yahudi sejak 1948 di atas tanah illegal Palestina dan tanpa melibatkan penduduk Palestina.
DARA – Lalu apa rahasia kesuksesan Israel mempertahankan eksistensi negaranya melawan hukum internasional dan suara dunia?
Sejumlah akademisi Paramadina dan Universitas Gajah Mada (UGM) berusaha mencari jawabanya dengan menggelar webinar dengan judul “Teknologi Militer dan Diplomasi, Studi Kasus Perang Israel vs Palestina, Prespektif Filsafat Kontemporer” 26 Juni 2021.
Tia Rahmania, MPsi, Psikolog, Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina dalam sambutanya mengatakan, misi diplomatik Indonesia dibawah Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi jelas mendukung kemerdekaan Palestina.
Sikap politik luar negara Indonesia konsisten mengemban amanah pembukaan UUD 1945, kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sarbaz Rezvi, peneliti West Asia, Engineer, aktifis Peace and Justice, menyatakan, Iron Dome diciptakan menjadi simbol kedigdayaan teknologi sistem pertahanan udara milter Israel murni untuk kepentingan okupasi. Ia juga meragukan efektifitas sistem pertahanan udara Iron Dome maupun David’s sling (Magic Wand)
“Bagaimana mungkin teknologi air defense militer Israel bisa menjaga seluruh tanah pendudukan, jika area sesensitif Nuklir Dimona tidak bisa dijaga dari roket yang berasal dari Gaza. Bagaimana dengan perang kedepan, Israel harus menghadapi seluruh front resisten di Timur Tengah,” ujar Rezvi seperti dalam rilis yang diterima redaksi, Kamis (1/7/2021).
Sementara itu, Mayor Pnb Fitrianto Ali Ngimron ST, Pengamat Militer and Pilot, menyatakan perang antara Israel vs Palestina adalah murni untuk kepentingan teritori.
“Kita tidak bisa membandingkan alusista Israel dan Palestina seperti membandingkan dua negara yang normal, yang memiliki budget militer yang jelas.” kata Mayor Pnb Fitrianto.
Menurut Fitrianto, berkaca pada zaman penjajahan meski alustista Inggris dan Belanda memiliki peralatan canggih pada saat masa perang kemerdekaan Indonesia 1945, para pejuang Indonesia tetap melakukan inovasi pertempuran.
“Begitu juga para pejuang Palestina melakukan hal sama, yakni melakukan inovasi adaptasi alutsista kedigdayaan militer Israel demi sebuah negara yang merdeka,“ ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama Pipip A Rifai Hasan, Ph.D, Kaprodi Magister Ilmu Agama Islam mengatakan: “saya percaya penjajahan Israel terhadap Palestina akan berakhir. Berdasarkan fakta jatuh bangunnya peristiwa sejarah manusia dan teori sejarah, baik dari teori dari agama maupun non agama, meski kita tidak tahu kapan terjadi”.
“Palestina pasti akan mendapat haknya membentuk negara merdeka. Menurut Hegel, sejarah akan bergerak progresif, menuju ketertiban. Sejarah bergerak tergantung kebebasan manusia secara independen. Dari sumber Islam juga mengatakan hal sama, sejarah bergerak optimis (progress), apabila ada situasi ketidakadilan memuncak, maka akan ada perubahan, ini adalah sunatullah,” ujar Pipip.
Achmad Munjid, PhD, dosen American Studies Program, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menyorot soal korban perang dan politik demokrafi.
“Perang 11 hari terakhir tahun 2021 telah menimbulkan korban sebanyak 256 warga Palestina tewas (termasuk 66 anak-anak dan 40 wanita). 500 gedung (rumah, bisnis, kantor,rumah sakit dll hancur). 72.000 menjadi pengungsi tanpa listrik dan air bersih. Sedangkan di pihak Israel 13 orang Israel terbunuh. Apakah fakta ini di sebut perang atau pembantaian?,” kata Achmad Munjid.
Pembicara terakhir Muhammad Ma’ruf, PhD, Dosen Filsafat Kontemporer, Universitas Paramadina, menyatakan, akar eksistensi negara Israel adanya praktek Filsafat Superioritas (ras Yahudi), ini adalah problem Filsafat Kontemporer.
“Praktek dari Filsafat Superioritas ras yang dipakai orang Yahudi Zionis ini menggunakan basis legitimasi militer (by force), menggunakan logika kalah-menang perang, bukan benar salah (rasionalitas). Jadi legitimasi superioritas ras dan militerisme satu kesatuan membentuk “The jewish state of Israel”,” ujarnya.
Ma’ruf mengamini pendapat para sejarawan Yahudi seperti IIan Pape, bahwa di setiap perang yang dilancarkan Israel, teritori Israel akan bertambah, dengan demikian perang akan berhenti sendiri setelah teritori Israel membentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Eufrat-Tigris di Irak.
“Pada saat itu harapan apa yang disebut perdamaian akan terwujud, karena Israel Raya sudah berhasil berdiri. Sejak 1967, Israel sendiri sudah tidak ada yang percaya “two state solution”, karena akan kontradiksi dan menghianati pendirian negara khusus Yahudi. Sehingga pilihanya hanya “one state solution” khusus Yahudi. Sementara “two state solution” hanya untuk konsumsi media dan hiasan diplomasi.” kata Ma’ruf.
Ma’ruf setuju “one solution” for all, jadi Yahudi, Muslim dan Kristen hidup dalam satu payung negara. “Semua pengungsi Palestina kembali ke tanah airnya, menyatu dengan penduduk sekarang. Ini adalah pilihan rasional dan humanis, spirit tiga agama yang benar pasti akan setuju, kecuali yang di selewengkan,” imbuhnya.
Webinar ini terselenggara berkat kerjasama antara Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina dan American Studies Programs, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.***
Editor: denkur