Torehan prestasi atlet angkat besi, Windy Cantika Aisah, sungguh membanggakan rakyat Indonesia. Dirinya berhasil meraih medali perunggu pada perhelatan Olimpiade Tokyo 2020.
DARA – Dara kelahiran Bandung ini meraih prestasi tersebut pada usia yang masih muda, yakni 19 tahun. Tak heran dirinya bisa berprestasi di tingkat dunia, lantaran bakat Windy menetes dari sang ibunda, Siti Aisah, pemegang medali perunggu piala dunia angkat berat 1998.
Awal ketertarikan Windy dalam olahraga angkat besi muncul karena sering diajak ibu dan kakaknya untuk berlatih. Saat itu usianya masih belia, rewel, dan suka mengganggu sesi latihan ibu dan kakaknya.
Agar tidak mengganggu latihan, dia minta dibuatkan barbel dari besi paralon yang ujungnya diberi pemberat dari semen. Baru ketika memasuki kelas 5 SD, Windy mulai serius mengikuti latihan.
“Terinspirasi sama mamah. Pas kakak latihan, kan suka gangguin, lalu dikasih paralon untuk latihan,” ujarnya, di Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (19/8/2021).
Serius dan disiplin dalam menjalani pelatihan, baik oleh ibunya sendiri atau pelatih di tingkat kabupaten dan juga pelatnas, Windy kemudian banyak menorehkan prestasi. Berhasil memecahkan rekor angkat besi tingkat remaja dua kali yakni di Thailand dan Filipina.
Dia juga memenangkan medali emas pada Pesta Olahraga Asia Tenggara tahun 2019. Medali perunggu di Olimpiade Tokyo di kelas 49 kilogram putri adalah prestasi terbaiknya.
Windy sangat disiplin dan komitmen dalam menjalani berbagai latihan yang dibebankan. Bahkan sebulan sebelum Olimpiade dimulai, dirinya berhenti makan sambal, es, dan gorengan.
“Pak Jajang (pelatih) sangat baik, sangat perhatian, sampai makanan pun dikontrol, selalu mengingatkan. Badan Windy kan sensitif, jadi tidak boleh makan sambal, es, dan gorengan,” ungkap gadis kelahiran 11 Juni 2002.
Disinggung target kedepannya, Windy mengaku, tengah menyiapkan dirinya untuk Pekan Olahraga Nasional XX Papua, Sea Games, dan Asian Games.
“Tidak menjanjikan apa-apa, hanya minta doa dan dukungan semoga bisa berhasil lagi,” katanya.
Sang pelatih, Jajang Supriatna berkisah pada awalnya Windy harus bersaing dengan atlet lain dengan ketat. Namun karena kegigihan serta mampu melahap latihan dengan baik, anak didiknya terpilih untuk mewakili Indonesia di ajang Olimpiade.
“Kerja kerasnya luar biasa. Kalau sakit tidak mengeluh, semangat, dan cita-citanya memang tinggi. Terutama kedisplinannya dan mampu mengatur sendiri program latihan, meski sedang waktu istirahat,” tuturnya.
Saat akan berlaga, tim pelatih pelatnas sempat mengingatkan Windy agar bertanding maksimal namun tidak terlalu terbebani dengan target juara.
“Pokoknya main saja sebagus mungkin. Alhamdulillah berhasil juara tiga. Kami semua sujud syukur. Inilah hasil latihan dan kerja keras bersama, latihan memang tidak akan membohongi hasilnya. Semangatnya kini tidak sia-sia,” ucap Jajang haru.
Windy, menurut Jajang, masih memiliki jalan yang panjang untuk terus berprestasi. Namun demikian, upaya mencetak ‘Windy -Windy’ baru juga terus dilakukan sebagai regenerasi atlet di Jabar, baik di tingkat klub, pelatda, hingga pelatnas.
Olahraga angkat besi tidak sepopuler sepak bola, sehingga peminatnya pun tidak banyak. Hanya saja, anak muda yang tinggal di sekitar klub atau anak dari atlet angkat besi saja yang tertarik. Apalagi peralatan untuk latihan pun tergolong cukup mahal.
“Hasil pelatihan di pelatnas hingga olimpiade ini menjadi bekal saya dalam membuat program latihan selanjutnya agar semakin baik,” cetus warga Banjaran, Kabupaten Bandung.***
Editor: denkur