Raja pun berpesan supaya kepemimpinan dilanjutkan. Bahkan ia mengatakan tidak akan kembali lagi ke kerajaan tersebut.
DARA|TASIKMALAYA- Setelah menyeruput kopi, Ikbal Nasihin, kembali bercerita tentang kisah Situ Sanghiang yang berada di Desa Cibalanarik, Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Setelah menenangkan para abdi dalem kerajaan Galuh. Raden Rarangbuana yang konon memiliki ilmu menerawang ke depan.
Sebelum berangkat ke kerajaan Mataram, Raden Rarangbuana sempat berpesan kepada istrinya bahwa jika nanti permaisuri pergi dengan siapapun jangan lupa membawa jubah yang biasa di gunakan shalat oleh Sang Raja.
“Sobek dan simpanlah sobekan jubah itu di setiap persimpangan jalan yang membingungkan sebagai petunjuk apabila nanti raja mencarinya,” pesan Raja Galuh kepada Permaisurinya.
Setelah permaisuri hilang dari Keraton. Saat itu pula Raja Galuh meminta seluruh abdi dalem dan rakyatnya untuk berdoa akan keselamatan Ayu Cindera Wulan.
Raden Rarangbuana pun memutuskan untuk mencari sang permaisuri. Sebelum keluar Istana, Raja pun menitipkan kerajaan dan rakyat kepada pamannya supaya selalu dijaga.
Raja pun berpesan supaya kepemimpinan dilanjutkan. Bahkan ia mengatakan tidak akan kembali lagi ke kerajaan tersebut.
Setelah berpamitan kepada seluruh abdi dalem, Raden Rarabuana pergi meninggalkan kerajaaan. Setelah melewati beberapa jalan lurus dan belokan, ia mulai melewati persimpangan yang membingungkan kemana arah yang harus dituju.
Namun, ia melihat sobekan-sobekan jubah yang biasa digunakan. Dengan petunjuk itu, Raden Rarangbuana akhirnya sampai ke Kerajaan Saunggatang.
Raden Rarangbuana hanya bisa melihat keadaan di dalam keraton melalui lubang kecil. Tetapi dengan ilmu yang dimilikinya, ia merubah dirinya menjadi anak kecil dengan kulit yang hitam dengan perut buncit pula.
Setelah merubah dirinya menjadi anak buncit, dia berkeliling benteng keraton dan mendapati seorang nenek yang kala itu tidak mengikuti pesta di Kerajaan Saunggatang.
Kemudian anak buncit tersebut bertanya tentang keramaian di dalam keraton Saunggatang. Namun sebelum menjawab nenek tua itu malah menggumam bahwa yang di depannya bukanlah bocah sembarangan dan bukan warga sekitar keraton.
“Kalau ingin tahu, di dalam benteng sedang berlangsung perkawinan raja dengan seorang putri cantik pemberian raja Mataram,” tutur sang nenek kepada bocah buncit jelmaan Raden Rarangbuana.
Nenek tua kemudian memberi tahu bahwa baru sekarang Raja Saunggatang mau menikah, karena dulu tidak ada yang sepadan dengan ketampanan raja, kebetulan ini merupakan hari terakhir pesta yang ditentukan sang Raja.
Setelah mendengar jawaban dari nenek tua tersebut, bocah buncit hitam kemudian pergi dan mengucapkan terimakasih atas informasi yang didapatnya tentang Raja Saunggatang yang sedang melakukan pesta pernikahan dengan Ayu Cenderawulan
Bocah buncit hitam lalu berpikir bagaimana caranya mengganggu suasana pesta pernikahan tersebut.Maka ia pun berdoa kepada yang maha kuasa, dan setelah selesai doa secara tiba-tiba datanglah sekerumunan anjing yang datang dari berbagai penjuru dan berkumpul.
Setelah berkumpul binatang tersebut berkelahi, sehingga suara perkelahian tersebut mengganggu suasana di dalam keraton Saunggatang. Dikarenakan merasa terganggu, beberapa pengawal raja serta para dukun keluar dari benteng untuk melihat apa yang terjadi diluar keraton.
“Setelah sampai diluar banyak sekali anjing yang sedang diadukan oleh anak buncit hitam, sehingga para pengawal raja dan dukun tersebut marah besar terhadap anak buncit tersebut,” tutur Ikbal sambil asyiknya menghisap serutu yang hampir beberapa kali padam.
Lalu, sang dukun berteriak, ”Hai anak buncit, apa tidak tahu didalam istana sedang ada acara pernikahan raja, kamu dan anjing-anjing sangat mengganggu suasana pesta raja,” kata sang dukun.
Anak buncit pun menjawab dengan tenangnya,”Tuan-tuan sekalian, aku sengaja mengganggu, supaya tuan-tuan keluar dari dalam benteng,” ucapnya.
“Tidak hanya itu, aku ingin tahu kekuatan ilmu yang tuan-tuan miliki dan aku akan berhenti mengganggu suasana pesta dan akan menjadi budak kerajaan sampai kapanpun, apabila tuan-tuan dapat mencabut 11 lidi ini,” tantang bocah buncit kepada pengawal dan dukun.
Karena merasa diremehkan, sang dukun menyuruh salah seorang pengawal raja untuk mencabut sebatang lidi, namun apa yang diharapkan tidak tercapai, lidi tersebut susah untuk dicabutnya. Kemudian dibantu lagi oleh para pengawal yang lain, bukannya bisa dicabut, lidi tersebut malah semakin panjang.
Tanpa disadari para pengawal yang mencabut lidi tersebut badannya lengket dan menyatu dengan tanah sehingga keluar air sedikit demi sedikit dan menjadi lubang dan mengeluarkan air yang cukup besar.
Lalu, para pengawal raja tersebut berteriak meminta tolong kepada sang dukun, kemudian sang dukun pun mengeluarkan mantra berusaha menyelamatkan orang-orang yang masuk lubang yang terus dipenuhi air.
Tetapi, semuanya tidak bisa diselamatkan bahkan sang dukun pun ikut masuk ke dalam lubang besar yang penuh dengan air. Bahkan permaisuri Ayu Cendera Wulan pun tenggelam masuk ke lobang dan berubah menjadi ikan.
Setelah itu lidi yang ditancapkan dicabut oleh anak buncit, maka keluarlah air semakin banyak sehingga seluruh wilayah istana kerajaan Saunggatang terendam hingga berubah menjadi sebuah danau (Situ).
Walaupun seluruh rakyat dan istana sudah terendam air, ternyata Raja Saunggatang masih tetap hidup. Dia mengambang diatas air dengan menggunakan lisung sebagai perahu, lalu menangis menyesali perbuatan buruk yang telah dilakukan.
Dia sadar bahwa perbuatan mengambil hak orang lain yaitu Permaisuri raja Galuh berakibat kehilangan rakyat, Istana dan Negaranya.
”Sesampai di tepi Situ, perahu lisungnya menabrak sebuah batu, lalu Raja Saunggatang meninggal dan dimakamkan di sebuah bukit kecil yang saat ini disebut Parunggolong. Tempat tersebut saat ini dinamai Kabuyutan Parunggolong atau Makam Cunihin,” Ikbal menjelaskan.
Kenapa disebut makam Cunihin, konon kata sesepuh disana, bila ada manusia yang niat jahat akan mendapatkan gangguan. Setelah Raja Saunggatang meninggal dunia, maka kerajaan dan rakyatnya terendam air.
Sementara Raja Galuh, Raden Rarangbuana yang berubah menjadi anak buncit berniat mengakhiri hidupnya dengan bertapa. Kemudian sebelum pergi, Raja Galuh bersumpah.
”Kepada rakyat Saunggatang yang membiarkan rajanya melakukan perbuatan sewenang-wenang dan merugikan rakyatnya, maka aku berdoa semoga orang-orang tersebut mendapat adzab dengan penyakit cacar dan panas dingin yang tidak mungkin ada obatnya.” ucap Raden Rarangbuana.
Setelah itu, Raja Galuh pun pergi ke Gunung Galunggung untuk bertapa dibawah sebuah pohon. raga Raden Rarangbuana semakin hari semakin mengecil dan akhirnya menyatu dengan akar pohon tersebut.
Sepeninggal Raja Saunggatang yaitu Raden Ciptarasa dan Raja Galuh Raden Rarangbuana, hampir seluruh rakyat yang berada disekitar situ terkena penyakit panas dan cacar.
Bertahun-tahun lamanya penderitaan rakyat yang berada di sekitar kerajaan Saunggatang, sampai akhirnya kabar kabar penderitaan itu terdengar oleh seorang ulama bernama Kiai Abdul Syukur di Kampung Cigowok.
Kiai tersebut merasa prihatin atas kejadian yang menimpa rakyat kerajaan Saunggatang. Kemudian Kiai Abdul Syukur menyerukan supaya para santri dan masyarakat sekitar Situ supaya berdoa kepada Allah Swt supaya diberi petunjuk jalan dan atau obat untuk menyembuhkan rakyat bekas kerajaan Saunggatang.
“Atas pertolongan sang maha kuasa rakyat Saunggatang pun terbebas dari kutukan sang Raja Galuh,” pungkas Ikbal mengakhiri cerita tentang asal usul Situ Sanghyang.
Editor : Maji