Empat penderita AIDS di Kabupaten Bandung meninggal dunia. Pihak Sekretariat Komisi Penanggulan AIDS (KPA) mengaku kecolongan. Berikut ceritanya kenapa sampai meninggal.
DARA | BANDUNG – Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Bandung mengaku kecolongan dengan meninggalnya empat warga Kabupaten Bandung, Jawa Barat, akibat AIDS, 2019 lalu. Padahal, data dari pendampingan selama tahun lalu tidak ditemukan warga yang mengidap AIDS.
Pengelola Program Sekretriat KPA Kabupaten Bandung, Dinan mengatakan, empat warga yang meninggal tersebut akibat tidak terjangkaunya pendampingan saat masih berstatus mengidap HIV. Mereka sulit dijangkau karena aktifitas sehari-harinya bekerja di luar Kabupaten Bandung.
“Penjangkauan sebenarnya dilakukan intens. Tapi empat warga yang meninggal itu sulit dijangkau karena bekerja di luar Kabupaten Bandung. Mereka pulang ke rumah saat drop dan langsung kritis karena sudah AIDS,” ujar Dinan saat ditemui di Sekretariat KPA Kabupaten Bandung, Soreang, Senin (13/1/2020).
Sementara itu, sesuai data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bandung, jumlah pengidap HIV di Kabupaten Bandung mencapai 685 orang. Jumlah ini meningkat drastis dari 2018, yang hanya mencapai 217 orang.
Meningkatnya jumlah pengidap HIV di Kabupaten Bandung tersebut, menurut Dinan, akibat berhasilnya program KPA yang telah menjangkau pengidap HIV bersama LSM Bahtera dan PKBI Klinik Mawar.
“Naiknya jumlah kasus ini bukan hal yang buruk. Justru ini merupakan keberhasilan program penjangkau yang mampu mengajak orang pengidap HIV masuk ke layanan kesehatan. Jadi ada keinginan pengidap HIV untuk berobat dan terapi menggunakan Antiretrorival (ARV). Sehingga ini bisa menekan penularan HIV di Kabupaten Bandung,” ujarnya.
Dinan juga mengatakan, dari 685 orang pengidap HIV di Kabupaten Bandung, rata-rata berada di populasi lelaki seks lelaki (LSL) yang populasinya sangat berpotensi menularkan HIV kepada ibu rumah tangga.
“LSL tidak selalu yang memiliki orientasi seks sesama jenis. Bisa jadi LSL adalah orang yang telah beristri. Sehingga berpotensi menularkan HIV ke istrinya,” katanya.
Populasi ibu hamil harus melakukan screening atau tes HIV untuk memastikan tidak tertular HIV. Pasalnya, banyak populasi jembatan (LSL, pengguna wanita pekerja seks) yang secara terang-terangan mengaku mengidap HIV. “Maka dari itu populasi ibu hamil perlu discreening. Khawatir menjadi korban tertular HIV. Karena mereka paling berisiko tertular selain populasi LSL, WPS, Waria, atau Pengguna Jarum Suntik,” ungkapnya.***
Wartawan : Muhammad Zein | Editor : denkur