AIMAR Qolbi Rajabi, bocah berusia tiga tahun warga Kampung Mareleng Desa Kertamukti Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat diketahui memiliki kelamin ganda. Kelebihan yang dimiliki anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan suami istri Iyan Kustian (46) dan Ida Rosida (37) itu dialami sejak ia dilahirkan.
Dengan kondisi yang dialaminya itu, Aimar dipastikan harus menjalani operasi pemisahan alat kelamin. Namun, orangtuanya yang hanya sebagai penjual gorengan tersebut terkendala biaya.
Meskipun, sejak lahir Aimar dinyatakan sebagai laki-laki, organ intim perempuan pada tubuh Aimar cenderung lebih berfungsi.
”Dokter yang pernah memeriksa anak saya juga bilang, kalau untuk buang air kecil hanya bisa dari vagina karena tidak ada lubang kencing di penisnya,” ujar Ida, ditemui di kediamannya, Rabu (4/9/2019).
Awalnya, Ida membesarkan Aimar dengan pola asuh anak laki-laki. Namun, seiring bertambahnya usia, Aimar mulai menyadari adanya perbedaan pada tubuhnya.
Aimar pun berkali-kali mengaku, tidak ingin menjadi perempuan dan lebih menyukai untuk tumbuh sebagai laki-laki. Ida kemudian memeriksakan kembali putranya.
Menurut dokter, Aimar menderita hipospadia atau kelainan pada lubang kencing yang tidak terletak di ujung kepala penis. Selain itu, Aimar juga mengalami kelainan undescended testis (UDT) atau kondisi penis yang tidak berada dalam kantung pelir (skrotum) dan biasanya terjadi pada bayi laki-laki dengan umur kehamilan yang kurang cukup.
”Aimar memang dilahirkan saat usia kandungan 38 minggu. Saya dirujuk ke RS Hasan Sadikin (RSHS) untuk penanganan lebih lanjut setelah dapat diagnosa dokter itu,” katanya.
Selama pemeriksaan di RSHS Bandung, Aimar menjalani cek kromosom pada pertengahan Agustus lalu. Berdasarkan informasi, tes tersebut dapat menjadi dasar dilakukannya operasi untuk menentukan apakah Aimar laki-laki atau perempuan.
Pasalnya, dikhawatirkan jika bocah itu tumbuh menjadi perempuan karena tidak memiliki rahim.
Ida dan suami kemudian mencoba meminta bantuan kepada pihak puskesmas terdekat. Namun, tenaga medis di sana hanya menyatakan tidak ada program bantuan operasi kelamin, sehingga mereka pun tak dapat membantu Aimar.
Tak berhenti di sana, Ida membawa Aimar ke pengobatan alternatif hingga mengusahakan untuk mendapatkan BPJS tak berbayar bagi sang putra. Ida berharap, setidaknya beberapa biaya pengobatan untuk anaknya bisa di-cover oleh BPJS.
Sayangnya, dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk Ida mendapatkan BPJS tak berbayar dengan berbekal surat keterangan tidak mampu (SKTM), sehingga pengobatan pun tertunda lama.
”Uang dari mana lagi, saya cuma jualan gorengan dan suami kerja serabutan. Sementara, kalau nanti harus operasi, biaya yang dibutuhkan lebih besar, karena Aimar harus menjalani tiga kali operasi sampai tuntas,” kata Ida.
Ibu tiga anak itu pun berharap ada pihak yang bersedia memberikan bantuan pengobatan untuk putranya. Terlebih, Aimar kini semakin kritis dan bersikeras untuk menjalani operasi dengan menjadi laki-laki seutuhnya.
Sementara itu, Kepala Puskesmas Cipeyeum, Kankan Sumpena, menjelaskan, kondisi Aimar dapat dikatakan belum mendesak. Hanya, saat ini bocah itu tengah memasuki tahap palis pada tahapan perilaku psikoseksualnya.
“Mereka akan memperhatikan alat kelamin mereka sendiri. Apalagi saat ini Aimar ada di usia yang sedang masanya toilet training,” ucap Kankan.
Oleh karena itu, operasi kelamin akhirnya dinilai perlu untuk dilakukan agar bocah tersebut tidak minder atau kebingungan akan kondisi tubuhnya sendiri. Sejauh ini, penanganan Aimar dari puskesmas hanya sekadar rujukan atau rekomendasi kepada pihak terkait.
Kankan menilai, upaya penanganan bocah itu tidak bisa ditanggung oleh satu pihak saja, terlebih kondisi Aimar saat ini terbilang langka. ”Kami juga mencari-cari informasi penanganan kelamin ganda. Tapi memang jarang bantuan seperti itu. Soalnya, cacat bawaan seperti itu memang langka makanya bantuan dari yayasan-yayasan juga susah ditemukan.”***
Wartawan: Purwanda | Editor: Ayi Kusmawan