“Karam berdua, basah seorang”. Begitulah pepatah yang tepat untuk Pelatih Jerman Joachim Loew. Untuk melukiskan kekalahan “Der Panzer”, Timnas Jerman 0-2, atas ‘pasukan Korea Selatan’, di Piala Dunia 2018 (Rusia).
Makna kekekalahan yang diderita juara Dunia: 1954, 1974, 1990, dan 2014 ini adalah kesalahan bersama. Kesalahan semua anggota Tim. Bukan kesalahan sang pelatih Joachim Loew sendiri. Gol-gol Kim Young-won dan Son Heung-min di masa ‘injury time’ (90+1) dan 90+5, serta kehebatan kiper Cho Hyun-woo, membuat “Taegeuk Warriors” mengangkat derajatnya kembali.
Timnas Korea Selatan yang saat itu, ditangani Pelatih Indonesia, Shin Tae-yong “memulangkan” Jerman. Padahal, saat itu, peluang Korea Selatan untuk maju sebagai juara dan “runner-up” sudah tertutup. Tergabung dalam Group F, Korea Selatan terlebih dahulu telah dikalahkan Swedia (0-1), dan Mexico (1-2).
Meskipun tersingkir di babak penyisihan Piala Dunia 2018, Federasi Sepakbola Jerman. Masih mempertahankan Joachim Loew hingga Piala Eropa 2020. Kekalahan dari Inggris 0-2, membuat Joachim Loew kemudian “tahu diri”.
Apa yang bisa dilihat dari kemenangan Timnas Korea Selatan atas Jerman di Piala Dunia 2018? Apa strategi Pelatih Shin Tae-yong di babak “tiada harapan”, tapi menang? Semua karena, kepiawaian Shin Tae-yong dalam memberi motivasi, bahwa tak ada Tim yang tidak bisa dikalahkan.
Kemenangan Korea Selatan atas Jerman 2-0, enam tahun lalu. Cukup membesarkan hati. Motivasi dan “resep” Korea yang diramunya, diyakini akan mampu berbuat hal yang sama bersama Indonesia di putaran ke-3 Pra Piala Dunia September mendatang.
Sebenarnya, sebelum “drawing” putaran ke-3 Piala Dunia zona Asia (27 Juni kemarin), saya sempat berharap, agar Indonesia bisa terhindar dari: Australia (peringkat 23 dunia), Arab Saudi (56), dan Jepang (17) sekaligus dalam satu group.
Bila Indonesia bisa satu group dengan para langganan Piala Dunia, cukup dengan Australia dan Jepang saja. Saya telah mengkalkulasi, bahwa mereka akan satu group dengan Indonesia. Ketimbang Iran (pot 1), Jepang lebih menarik untuk dihadapi. Juga ketimbang Qatar yang selalu “diuntungkan wasit”, atau dibanding Irak, di mana Indonesia sering kalah. Saya setuju dengan Australia.
Masih ada celah untuk menang. Apalagi, sebagian pemain naturalisasi kita dirasa mampu untuk mengimbangi. Andai: Mess Hilgers, Kevin Diks, dan Jairo Riedewald, bisa di-naturalisasi sebelum 5 September mendatang, melawan “Aussie” (Australia) bukan hal yang sulit.
Tadinya, saya berharap dari ‘pot 3’, ada Yordania (peringkat 68) yang bisa terpilih ke group C, bukan Arab Saudi yang akan menemani Indonesia. Dari ‘pot 4’, saya memang mengharapkan Bahrain (peringkat 81), ketimbang Uni Emirat Arab (peringkat 69) dan Oman (76). Sementara, dari ‘pot 5’, berharap Kyrgistan (101), bukan China (88) atau Palestina (95).
Apa boleh buat. Indonesia yang tergabung di Group C (hasil drawing), akan melakukan 10 laga “Home” dan “away”, mulai 5 September mendatang. Untuk merebut dua tiket langsung dari Group C, Tim asuhan Shin Tae-yong, harus mampu finis ke-1 atau ke-2, dan dapat menaklukkan: Australia, Arab Saudi, Jepang, China, dan Bahrain.
Dua group lagi: A (Iran, Qatar, Uzbekistan, Uni Emirat Arab, Kyrgistan, Korea Utara. Lalu Group B: Korea Selatan, Irak, Yordania, Oman, Palestina, Kuwait.
Pelatih Shin Tae-yong dan PSSI, tentu tidak ingin sekadar ikut “meramaikan” putaran ke-3 Pra Piala Dunia 2026. Program naturalisasi dalam dua bulan ini akan dikebut, agar lebih membangkitkan rasa optimistis menghadapi lawan-lawan langganan Piala Dunia. “Kaki Naik, kepala turun” (semua upaya dikerahkan).
Tentu, Shin Tae-yong akan sibuk sekali, sekaligus mangulangi hal yang “mustahil” mengalahkan Jerman, menjadi mungkin. Mengalahkan Jepang, Australia, atau Arab Saudi, bagi Shin Tae-yong tentu lebih mudah, dibanding mengalahkan Jerman. Yang kita punya “tinggal doa”.