Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyoroti tingginya angka pengangguran dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang melebihi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA).
DARA | BANDUNG – Hal tersebut berdasarkan data pokok pendidikan (Dapodik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, sehingga menyebabkan banyak siswa-siswa lulusan SMK tidak bisa terserap dunia pekerjaan.
Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf M. Effendi, ada beberapa hal yang menyebabkan angka pengangguran dari lulusan SMK ini meningkat. Seperti investasi yang lebih besar dari SMA, karena SMK harus ditunjang peralatan-peralatan.
“Apalagi yang jurusan teknik membutuhkan peralatan yang rata-rata harus di update per tiga tahun. Biasanya SMK juga belum tentu mendapat pendapatan yang cukup signifikan dari para siswa, karena kalah besaing dengan beberapa sekolah negeri,” ujar Dede Yusuf di sela kunjungan kerja ke SMK Angkasa 1 Margahayu, Komplek Lanud Sulaiman, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (6/3/2020).
Namun dalam realitanya, kata Dede, pendidikan vokasi menjadi target Presiden Jokowi, yang disebut sumber daya manusia (SDM) unggul. Artinya yang memiliki skill dan keterampilan, serta mampu terserap di dunia pekerjaan.
“Dan SMK memiliki potensi untuk itu, karena mereka yang dididik di sini (SMK) adalah vocational training (bimbingan dan pelatihan) dalam waktu tiga tahun, bahkan ada juga yang sampai empat tahun,” katanya.
Namun tentunya, mereka harus memiliki link and match dengan dunia industri. “Makanya di SMK Angkasa 1 Margahayu ini para siswanya diberikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan perusahaan,” ucapnya.
Dalam kunjungannya, Dede bertemu dengan pihak Mitsubishi yang ternyata menyerap siswa-siswa dari SMK Angkasa 1 Margahayu, untuk bisa dijadikan bagian dari industri mereka. Hal inilah yang membuat Komisi X DPR RI mendorong Kemendikbud agar bisa menjadikan SMK kembali berjaya dan mengejar ketertinggalan.
“Karena bagaimana pun juga nanti kami harus bicara dengan Kemendikbud. Dengan sekian banyak anggaran dan program yang diturunkan, implementasinya di bawah (SMK). Benar tidak terimplementasi dengan baik. Benar tidak kebijakan tersebut akan menyentuh. Ini yang nanti jadi pertanyaan kami untuk Kemendikbud,” paparnya.
Sehingga nantinyan lanjut dia, Komisi X bisa menyampaikan pentingnya fasilitas seperti peralatan untuk SMK ini. Karena tidak mungkin menggunakan perlatan pada tahun ’90an, sedangkan saat ini sudah 2020.
“Makanya harus ada dukungan pemerintah dari sisi peralatan. Kalau tidak, lulusan dari sini (SMK) tidak akan serta merta memiliki kompetensi masuk dunia industri,” katanya.
Apalagi para siswa lulusan SMK nanti akan memiliki setifikat kelulusan. Namun, itu belum tentu dianggap oleh dunia industri karena harus ada sertifikat kompetensi. Setelah itu harus ada lagi untuk disamakan derajatnya dengan pekerja yang memiliki skill, yaitu sertifikat profesi.
“Tidak mungkin siswa harus membayar jutaan untuk mendapatkan sertifikat profesi. Disitulah peran negara untuk sertifikasi ini. Negara harus ikut mendukung sertifikasi kompetensi dan profesi. Dan saya sudah cek, tahun ini untuk sertifikasi kompetensi akan disiapkan dari Pemerintah Provinsi. Nanti saya akan kontrol lagi, benar tidak memfasilitasi itu,” jelasnya.***
Editor: denkur