Monumen Pers Nasional di Solo, Jawa Tengah, memiliki arti yang penting bagi Insan Pers di Indonesia. Monumen itu lokasi pertemuan insan pers nasional yang kemudian membentuk wadah atau organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
DARA – Demikian dikatakan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo), Usman Kansong, acara Workshop Jurnalistik bertema “Wartawan Bisa Apa di Era Digital” secara daring, Senin (7/2/2022).
“Monumen Pers Nasional menjadi tempat lahirnya gagasan agar para insan pers itu memiliki sebuah wadah untuk menyatulan pemikiran mereka,” ujarnya seperti dikutip dara.co.id dari infopublik.id, Senin (7/2/2022).
Workshop jurnalistik tersebut bagian dari rangkaian kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 yang dipusatkan di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Keynote Speaker yang tampil di workshop itu, antara lain Dirjen IKP Kominfo Usman Kansong, Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Nurjaman Mochtar, Kepala Monumen Pers Nasional Widodo Hastjaryo, dan pembicara antara lain Pemimpin Redaksi (pemred) Kompas.com Wisnu Nugroho, Pemred Liputan 6 SCTV/Indosiar Retno Pinasti, dan Akademisi LSPR & Editor Tempo.co Martha Silaban
Kepala Monumen Pers Nasional, Widodo Hastjaryo, menjelaskan Monumen Pers Nasional adalah museum yang menyimpan benda-benda bersejarah yang terkait pers, dari mulai koran dan majalah kuno hingga koleksi barang seperti mesin ketik, pemancar radio, kamera, hingga memorabilia sejumlah tokoh wartawan nasional.
Bangunan induk Monumen Pers Nasional dibangun sekitar 1918 atas perintah Pangeran Surakarta Mangkunegara VII sebagai balai perkumpulan dan ruang pertemuan. Gedung itu dulunya bernama “Societeit Sasana Soeka” dan dirancang oleh Mas Aboekassan Atmodirono.
Pada 1933, Sarsito Mangunkusumo dan sejumlah insinyur lainnya bertemu di gedung ini dan merintis Solosche Radio Vereeniging, radio publik pertama yang dioperasikan pribumi Indonesia.
Pada 1937, diperkirakan Solosche Radio Vereeneging menyiarkan musik gamelan secara langsung dari Solo untuk mengiringi Gusti Nurul (Putri Mangkunegoro VII) yang membawakan tari Bedhaya Srimpi di Istana Kerajaan Belanda di Den Haag pada 7 Januari 1937.
Tiga belas tahun kemudian, pada 9 Februari 1946, PWI dibentuk di gedung ini dan pada 9 Februari 1956, dalam acara perayaan 10 tahun PWI, wartawan-wartawan ternama seperti Rosihan Anwar, B.M. Diah dan S. Tahsin menyarankan pendirian yayasan yang akan menaungi Pers Nasional.
Yayasan ini diresmikan 22 Mei 1956 dan sebagian besar koleksinya disumbangkan oleh Soedarjo Tjokrosisworo. Baru 15 tahun kemudian yayasan ini berencana mendirikan fisik gedung. Rencana itu secara resmi diumumkan oleh Menteri Penerangan, Budiarjo, pada 9 Februari 1971.
“Nama “Monumen Pers Nasional” ditetapkan pada 1973 dan lahannya disumbangkan ke pemerintah tahun 1977. Monumen Pers Nasional resmi dibuka tanggal 9 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto,” katanya.
Menurut Widodo, Monumen Pers Nasional saat ini telah mengalami revitalisasi sehingga menjadi lebih modern dengan teknologi-teknologi menarik perhatian para pengunjungnya.
Dengan revitalisasi, katanya, MPN menjadi lebih modern dan membuat setiap informasi yang berkaitan dengan pers dapat dipahami oleh masyarakat luas.
“Dahulu MPN lebih terlihat gelap dan serba kuno, kini semuanya akan lebih digital,” imbuhnya.
Widodo juga mengatakan, penyajian informasi di Monumen Pers Nasional yang sebelumnya berupa teks dokumen, koran maupun majalah, kini telah bertransformasi menjadi digital.
Teknologi ini diharapkan akan memudahkan akses segala jenis informasi di museum ini dan membuat dampak positif di masyarakat.
Editor: denkur | Sumber: Infopublik.id