DI Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung Jawa Barat, tepatnya di Jalan Lebakwangi Desa Batukarut terdapat Situs Bumi Alit Kabuyutan. Di tempat itu pernah disimpan Goong Renteng Embah Bandong.
Namun kini benda yang dianggap sakral dan beraura magis saat ditabuh itu tidak berada di sana, disimpan di salah satu perawatnya di Kampung Cijaringao masih di desa setempat. Yang masih tersimpan di Bimi Alit Kabuyutan tinggal beberapa benda pusaka seperti pedang, golok, keris, tombak, dan benda pusaka lainnya.
Namun, dalam ritual ngaruat (mencuci pusaka dengan air kembang) benda pusaka pada setiap tanggal 21 Maulid, Goong Renteng Embah Bandong turut dimandikan bersama benda pusaka lain yang ada di Bumi Alit Kabuyutan. Di sanalah Goong Renteng Embah Bandong ditabuh.
Sudah tiga kali Goong Renteng Embah Bandong pindah tempat menyimpanya. Awalnya di Cilurung di rumah sesepuh yang tahu ilmunya, lalu di Kampung Kabuyutan, dan sekarang di Cijaringao, sejak tahun 2017.
Konon goong renteng ini tidak sembarangan ditabuh. Namun satu waktu ada festival budaya di desa Batukarut yang menampilkan Goong Embah Bandong sebagai kesenian asli desa tersebut. Didapatlah jawabannya dari orang yang dianggap sesepuh.
Adalah Wawan Suherman. Pria 60 tahun ini sebagai penasehat lembaga Sasaka Waruga Pusaka yang merawat goong renteng dan pusaka lainnya di situs Bumi Alit Kabuyutan Lebakwangi Desa Batukarut. Goong Renteng Embah Bandong bisa ditabuh karena sudah ada widi (izin) dari para sesepuh.
Selain sudah mengantongi izin, juga yang ditabuh pada festival tersebut adalah goong renteng duplikat. Sedangkan yang aslinya hanya ditabuh setahun sekali dalam ritual ngaruat benda pusaka.
Laras sebagai pembeda
Goong renteng merupakan salah satu jenis gamelan khas masyarakat Sunda yang sudah tua. Setidaknya sudah ada sejak abad ke-16 dan terdapat di beberapa daerah Jawa Barat, di antarannya di Cileunyi dan Cikebo, Tanjungsari Sumedang, Lebakwangi Arjasari Kabupaten Bandung. Goong renteng juga terdapata di Karaton Kanoman Cirebon, di Cigugur Kuningan, Talaga Majalengka, Ciwaru Sumedang, Tambi Indramayu, Mayung, Suranenggala, serta Tegalan Cirebon.
Jadi goong renteng itu tidak hanya ada di Batukarut. Hanya, yang membedakan goong renteng yang lain dengan Goong Renteng Embah Bandung Batukarut, yakni dalam laras. “Kalau yang lain larasnya pelog atau salendro, kalau Goong Renteng Embah Bendong itu. Kata para ahli seni larasnya khusus bandongan, tidak bisa untuk laras lain,” begitu kata Wawan dalam satu kesempatan. Alasan ini yang menyebabkan goong tersebut sebagai kesenian ciri khas Batukarut.
Tidak disebut kapan titimangsa ditemukannya, yang jelas Goong Renteng Embah Bandong ditemukan di daerah Tanjungwangi. Tempat tersebut, sekarang dinamakan Lebakwangi Desa Batukarut oleh seorang bangsawan, setingkat bupati jika di masa sekarang, namanya Embah Dalem Panggung Jayadikusumah.
Masyarakat setempat mengenalnya dengan sebutan Embah Dalem Andaya Sakti. Gamelan tersebut merupakan dua bonang, goong, kècrèk, beri, dan saron.
Ada yang berpendapat, disebut gamelan renteng karena bonangnya direntetkeun atau dirèntèngkeun istilah Sunda. Mungkin dulu itu tidak seperti sekarang memakai ancak.
Goong renteng pada jaman Belanda ditabuh dalam acara melantik Bupati Bandung atau acara resepsi lainnya. Ditabuh hingga subuh dengan lima jenis gemelan yang disebut tadi, sekarang-sekarang ditambah gendang.
Kelima waditra gamelan Embah Bandong mengandung filosofi, bahwa lima pancaindra manusia harus bersih.
Apa keistimewaan dan bagaimana bisa dipercaya ada aura magis dan sakralnya kalau yang ditabuh itu duplikatnnya? Malahan sekarang sudah dibuat tiga duplikat untuk dipakai latihan dan menabuh dalam suatu acara.
Dari pengalaman nayaga atau para penabuhnya, dalam laras dan ritualnya sama, hanya auranya memang beda antara menabuh yang asli dengan duplikat. Apalagi yang asli berbahan perunggu, seperti goong. Suaranya lebih bergema sebab selain bahannya dari perunggu juga lebih tebal dan besar ukuranannya.
Salah satu alasan membuat duplikatnnya, untuk menjaga agar gamelan asli tidak rusak. Upaya melestarikan Goong Renteng Embah Bandong, kata Wawan, tidak sekadar memelihara dengan cara ngaruat dan menyimpan gamelan tersebut dengan teliti. Tapi harus ada generasi penerus yang menabuhnya.
Pemuda harus dikenalkan pada Goong Rèntèng Embah Bandong dengan cara menabuhnya. Sedangkan cara menabuh itu perlu latihan, tidak hanya setahun sekali, setidaknya seminggu sekali.
“Jadi kalau ada duplikatnnya goong renteng yang asli tetap terjaga,” ujarnya.
Gunung meletus
Menurut Wawan, jika sekadar merawat bendanya, tidak dengan regenerasi penabuhnya, goong renteng bakal terancam punah. Contohnya di Cikondang juga ada goong renteng.
Tapi, hanya karena tidak penerus penabuhnya, akhirnya gamelan tersebut tercecer. “Sekarang sudah tidak ada, entah di mana,” terang Wawan saat itu.
Lagu-lagu yang dibawakan berupa intrumen Gonjing Batala, yang menggambarkan daerah Bandung itu asalnya dari meletusnya gunung yang sangat besar, yaitu Gunung Sunda Akibat letusan, jadilah danau Bandung purba yang kini susunan kalderanya jadi permukiman kawasan Bandung.
Ada lagi lagu Gonggong yang artinya hutan belantara, menggambarkan sesudah kejadian genjlong atau meletusnya gunung jadi danau, terus danau tersebut surut menjadi hutan dan jadi permukiman sampai sekarang.
Pernah salah satu lagunya dijadikan rumpaka dan dinyanyikan oleh ibu-ibu. Tapi tidak berlanjut sebab banyak hal serta pertimbangan.
Hal magis dari Goong Renteng Embah Bandong, konon pernah terjadi bunyi sendiri seperti ada yang menabuh. Hal itu di luar nalar. Yang jelas perbedaan yang utama hanya aurannya. Kalau nadanya sama antara yang asli dengan duplikatnya. Itu diakui oleh beberapa tokoh.
Obyek penelitian mahasiswa
Goong renteng, dulu ditabuh pada acara pembukaan acara, tidak boleh didahului oleh yang lainnya. Setelah ditabuh sebagai pembukaan selanjutnya terselangi acara lainnya tidak masalah.
Goong Renteng Embah Bandong banyak yang meneliti, termasuk salah satu mahasiswi orang Perancis. Dari tahun 1963 salah satu mahasiswi orang Perancis meneliti budaya Sunda, termasuk goong renteng, sampai ia jadi dosen di Perancis. Banyak mahasiswanya yang kemudian meneliti goong renteng.
Wawan menuturkan, yang jadi daya tarik orang asing untuk meneliti Goong Renteng Embah Bandong karena usianya sudah tua. Tapi masih utuh bisa ditabuh, juga larasnya yang beda dari laras gamelan yang lain. Orang asing mengetahui dari pustaka hasil penelitian goong oleh orang asing yang dipublis di luar negeri. ***
Wartawan: Sopandi l Editor: Ayi Kusmawan