Bandung Punya Cerita (4): Krisis Moneter dan Merosotnya Oplah Koran

Selasa, 28 September 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kran kebebasan pers dibuka. Bandung dikepung penerbitan koran, tabloid dan majalah. Itu terjadi diakhir tahun 80-an. Siapa pun boleh menerbitkan perusahaan pers dan siapa pun juga bisa jadi wartawan.


Koran-koran yang jauh sudah terbit lebih dulu seperti Pikiran Rakyat, Mandala, Gala, Bandung Pos, Giwangkara, Mangle, Kudjang dan Galura cukup beringat untuk mengeluarkan arah kebijakannya, terutama dari sisi bisnisnya.

Bukan melulu persoalan munculnya persaingan yakni media-media baru, tapi lebih disebabkan krisis moneter yang mendera negeri ini.

Sejak moneter terjadi, oplah koran rontok drastis. Surat permohonan menghentian berlanganan dari semua instansi pemerintah bertebaran ke semua perusahaan penerbitan pers. Penurunan omzet nyaris 100 persen, sehingga managemen perusahaan harus melakukan langkah-langkah efisiensi, diantaranya penurunan tiras koran dan pencabutan atau pengurangan gaji karyawan, termasuk redaktur dan wartawan.

Selain pengurangan jumlah cetak atau tiras, beberapa koran juga mengubah bentuk koran, yang tadinya ukuran normal menjadi tabloid dengan halaman yang terbatas.

Dampak yang paling kentara saat itu terjadinya merger sejumlah koran. Sebut contoh, Mandala berger dengan kompas, Gala dibeli Media Indonesia yang kemudian dibeli juga oleh Pikiran Rakyat. Kemudian Bandung Pos sempat dibeli oleh Pikiran Rakyat.

Media sunda, seperti Giwangkara tetap bertahan tak mau berger, karena melihat media lain yang meski dimerger namun tetap tidak bangkit dari keterpurukan. Giwangkara tertatih-tatih karena oplahnya merosot 100 persen hingga akhirnya gulur tikar dengan segala fenomena yang terjadi saat itu. Beruntung saat ini masih terbit meski sudah pindah pengelola dan dengan segala keterbatasan.

Pun begitu dengan Kudjang dan Mangle. Kudjang kini tak terdengar lagi gaungnya. Sedang Mangle masih tetap eksis dengan managemen yang baru.

Nasib Mandala lebih memprihatinkan lagi. Koran yang tahun 80-an sangat dicintai masyarakat Jawa Barat karena memiliki kwalitas disertai ciri khasnya harus mati saat krisis moneter. Koran kriminal ini tampaknya tak berdaya dihantap penurunan oplah yang sangat drastis.

Gala pun begitu. Koran yang sama persis dengan Mandala dengan menyuguhkan berita-berita kriminal harus mati secara perlahan. Beruntung dalam perjalanannya, koran ini bisa eksis karena dibeli oleh Pikiran Rakyat dan saat ini bernama Galamedia.

Lalu, bagaimana dengan koran Jakarta yang ada di Bandung? Ini pun kena imbas krisis moneter. Beberapa koran mengurangi kirimannya ke Bandung akibat penurunan oplah langganan. Koran dari Jakarta tetap ada hingga saat ini namun tak sehebat masa lalu. Bandung tak lagi jadi sasaran tembak pemasaran, tampaknya begitu.

Percetakan pun kena imbas. Grafiti dan Golden Web, kembung kempis mempertahankan hidupnya. Tak banyak lagi koran yang nyetak jadi persoalan bagi kehidupan percetakan itu. Tidak diketahui bagaimana nasibnya sekarang.

Masa kejadian dunia penerbitan pers di Bandung tahun 80-an tinggal kenangan. Ada yang mati ada yang terngah-engah, ada pula yang tetap eksis meski tak sehebat dulu.

Selain persoalan krisis moneter, kebebasan pers terjadi menginjak tahun 90-an. Pemerintah mengeluarkan keputusan bahwa menerbitkan perusahaan pers tidak perlu lagi ada surat ijin penerbitan pers atau yang dikenal dengan sebutan SIUP. Itu tertuang dalam Undang-undang Pers nomor40 tahun 1999.

Undang-undang itu membolehkan siapapun menerbitkan koran atau media tanpa harus punya SIUP, asal punya PT atau yayasan. Maka, menjamurlah puluhan media terbit di Bandung dan juga kabupaten lain di Jawa Barat.

Berbagai macam media marak terbit saat itu, mulai dari harian, mingguan hingga bulanan. Bentuknya, ada koran, tabloid hingga majalah.

Dunia pers naik daun sejak itu. Berbagai kalangan berbondong-bondong, berminat terjun ke bisnis koran. Bahkan, banyak yang rela mengeluarkan isi koceknya sendiri untuk membiayai usaha penerbitan pers, meski tidak punya cukup ilmu dalam soal penerbitan pers.

Investasi ditanam mulai dari jumlah yang cukup besar hingga yang sekadar cukup untuk terbit per edisi. Persoalan maju atau tidaknya korban yang mereka terbitan itu urusan belakang, yang penting namanya terpampang sebagai pemimpin umum atau pemimpin redaksi.

Pemimpin umum selalu diidentikan dengan pemilik koran tersebut. Sedangkan pemimpin redaksi boleh siapa saja meski tidak punya latar belakang jurnalistik yang mumpuni. Modalnya pernah jadi wartawan dan banyak relasi, terutama di kalangan pejabat.

Lalu bagaimana mereka mengembangkan koran yang diterbitkannya? Untuk koran harian masih tetap melirik eceran, dijual di lapak-lapak koran dan pedagang asongan. Meski begitu, tak urung mereka pun masuk ke humas-humas pemerintahan dengan harapan koran mereka jadi langganan.

Namun, bagi mingguan dan majalah, sistim eceran tampaknya tidak tertarik. Mereka lebih fokus melobi humas-huimas dan dinas-dinas agar berlangganan. Terlepas seperti apa lobi mereka yang dibangun, yang pasti akhirnya instasi pemerintahan pun mau berlangganan, terutama di dinas pendidikan di berbagai daerah.

Koran mingguan dan bulanan juga merambah ke pedesaan. Mereka melobi para kepala desa dan camat untuk berlangganan.

Respon pejabat dan masyarakat cukup beragam. Ada yang menyambutnya positif dengan menjamurkan media saat itu. Namun, tak sedikit yang menyesalkan sebab katanya koran terlalu banyak sehingga membingungkan. Pasalnya, tidak punya anggaran kuat untuk membayar koran. Tapi apa boleh buat para pejabat termasuk camat dan kades sebisanya mengkondisikan anggaran untuk membayar koran.

Lantas, bagaimana dengan wartawannya? Inilah yang kerap jadi masalah di masyarakat. Seiring maraknya media, maka menjamur pula wartawan. Saat itu siapaun dan dari latar belakang apapun bisa jadi wartawan. Caranya mudah saja, asal datang ke perusahaan koran melamar dan membeli kartu pers yang diteken pemimpin redaksi, maka jadilah mereka wartawan.

Jadi wartawan memang tidak ada batasan pendidikan formal atau latar belakang, asal ada kemauan bisa jadi wartawan. Selebihnya pacun terhadap ketentuan kebijakan perusahaan medianya. Terlepas dari gunjang ganjing kepatutan sebagai seorang wartawan.

Seperti itulah gambaran bagaimana hebohnya dunia pers di tahun 90-an di Bandung, dan ternyata terjadi juga di berbagai daerah. Artinya, tak hanya Bandung yang punya media, kota-kota kabupaten lain pun banyak koran yang terbit. Boleh? ya boleh karena dibolehkan.

Lalu bagaimana kondisi dunia penerbitan pers saat ini setelah posisi media cetak tergeser oleh derasnya arus teknologi sehingga memunculkan fenomena media online? Simak nomor berikutnya.***

Editor: denkur

Berita Terkait

Lolos Seleksi, Ini Tiga Maskapai yang Siap Memberangkatkan Jemaah Haji
Turun dari Tahun 2024, Inilah Besaran Biaya Haji Tahun 2025
Waspadalah, Virus Human Metapneumovirus Sudah Masuk Indonesia, Penyakit Apa Itu?
Makan Bergizi Gratis Sudah Bergulir, Menunya Disesuaikan dengan Selera Masyarakat Setempat
Pokoknya tidak ada Satupun Orang Miskin yang tidak Mendapat Bantuan
Begini Respon Kapten Timnas Jay Idzes Soal Pemecatan Pelatih STY
Breakingnews: PSSI Pecat Shin Tae-yong, Erick Thohir Jelaskan Alasannya
Indonesia Idol XIII, Begini Cara Vote Jagoan Anda di Babak Showcase, Berikut Daftar 23 Kontestan
Berita ini 20 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 7 Januari 2025 - 13:52 WIB

Lolos Seleksi, Ini Tiga Maskapai yang Siap Memberangkatkan Jemaah Haji

Selasa, 7 Januari 2025 - 13:43 WIB

Turun dari Tahun 2024, Inilah Besaran Biaya Haji Tahun 2025

Selasa, 7 Januari 2025 - 13:34 WIB

Waspadalah, Virus Human Metapneumovirus Sudah Masuk Indonesia, Penyakit Apa Itu?

Selasa, 7 Januari 2025 - 13:28 WIB

Makan Bergizi Gratis Sudah Bergulir, Menunya Disesuaikan dengan Selera Masyarakat Setempat

Senin, 6 Januari 2025 - 16:47 WIB

Pokoknya tidak ada Satupun Orang Miskin yang tidak Mendapat Bantuan

Berita Terbaru