Ada kalanya logika dan adat tidak menyambung. Ini yang tengah terjadi di sebuah kampung adat di Kabupaten Bandung. Di kampung ini ada pantangan membangun dengn konstruksi tembok/beton, selain rumah berdinding bambu.
SENTUHAN modernisasi memang tidak bisa dibendung, meski ada pantangan adat. Apalagi pantangan adat tersebut bukan aturan tertulis.
Hal itu terjadi di adat Kampung Mahmud, Desa Mekarrahayu Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Belasan tahun ke belakang, rumah panggung bilik bambu masih dominan di kampung RW 04 ini. Warga merasa takut melanggar pantangan yang ditanamkan nenek moyang mereka.
Namun sedikit demi sedikit rumah panggung itu berubah jadi rumah tembok. Kini tinggal beberapa rumah saja yang berbentuk panggung bilik bambu.
Sesepuh adat kampung tersebut, H. Uron (64 tahun), mengakui, meski tidak tahu persis tinggal berapa jumlah rumah panggung bilik bambu itu, rumah sekitar 400 kepala keluarga, sekarang sebagian sudah berbahan pasir dan batu bata.
“Tidak ada larangan tertulis dan tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Itu hanya melanggar tradisi nenek moyang terdahulu saja. Mungkin sanksinya hanya akibat saja. Sebab begitu, akibatnya begini. Ya tidak tahu akan bagaimana,” kata Uron saat dikunjungi di kampung tersebut, Sabtu (5/10/2019).
Uron menuturkan, tradisi rumah panggung bilik adalah filosofi kehidupan yang menggambarkan kesederhanaan. Melepas urusan duniawi untuk lebih mengutamakan ketauhidan.
Itu yang diperbuat oleh pendiri kampung Mahmud, Eyang Dalem Abdul Manaf. Selain itu, rumah bilik panggung merupakan simbol ketidaksepahaman sikap Eyang Abdul Manaf dengan penjajah Belanda pada waktu itu yang menyukai kemewahan.
Tak hanya pantangan dengan rumah panggung, di Kampug Mahmud juga ada pantangan memelihara angsa dan menabuh goong (gong) atau gamelan. Kata Uron, hewan angsa disimbolkan Eyang Dalem Abdul Manaf sebagai bangsa belanda karena lehernya panjang dan suka berisik.
Sedangkan goong atau gamelan merupakan simbol keramaian atau hura-hura yang suka dilakukan penjajah pada masa itu. “Tapi kalau yang memelihara angsa serta mengadakan keramaian musik sampai sekarang masih kuat dipegang masyarakat sini,” tutur Uron.
Kampung Mahmud didirikan oleh Eyang Dalem Haji Abdul Manaf. Konon dulunya lahan seluas kurang lebih satu hektare ini merupakan rawa.
Cerita berkembang dan dipercaya oleh masyarakat Mahmud, rawa tersebut oleh Eyang Dalam Haji Abdul Manaf dipadatkan dengan hanya sekepal tanah dari Makah. Wallohu.
Yang jelas, tempat tersebut menjadi salah satu bukti adanya peradaban sekitar abad 17-18 atau antara tahun 1650-1725. Nama makam Mahmud diambil dari nama Eyang Dalem Haji Abdul Manaf atau Eyang Mahmud.
Ia keturunan ke-8 dari Syek Syarif Hidayatullah Cirebon. Eyang Mahmud adalah seorang ulama Sunda penyebar agama Islam di Bandung Selatan.
Dari kampung itulah ia memusatkan penyebaran agma Islam hingga wafat dan dimakamkan di sana. Selain ada makam Eyang Mahmud, di sana juga ada makam murid-murid Eyang Mahmud yang turut menyebarkan agama Islam, yaitu Eyang Agung Zaenal Arif dan Eyang Abdulah Gedug.
Uron tidak pernah mencatat berapa jumlah peziarah yang berkunjung ke makam tersebut per minggu atau bulannya. Sebagai sesepuh dan ketua Yayasan Mahmud, ia hanya berusaha merawat makam Mahmud.
Namun, dari laporan para juru kunci yang memandu para peziarah, dari dulu makam Mahmud tak pernah sepi dari peziarah. Apalagi di malam Jum’at dan Maulid, peziarah mencapai ratusan orang dari berbagai daerah, bahkan luar Jawa.
Tidak semua peziarah murni berziarah dengan tujuan mengingat dan menghargai tokoh ulama serta semakin mendekatkan diri pada Allah. Tapi ada juga yang punya maksud di luar itu.
“Ya rupa-rupa keinginan mereka. Namun itu hak mereka. Sebagai tuan rumah, pihak kami hanya memfasilitasi,” kata Uron.
Bukti dari tidak pudarnya pamor Mahmud, terlihat dalam perkembangannya kini. Sejumlah rumah panggung bilik telah berubah jadi kios berbagai barang dagangan, terutama pakaian taqwa, gamis, peci, sarung, dan sebagainya.
Itu untuk memenuhi kebutuhan para peziarah untuk dipakai di sana atau untuk oleh-oleh. Jalan pun sudah tersentuh beton.
Pemerintah Kabupaten Bandung telah menetapkan Situs Mahmud sebagai cagar budaya pada tahun 2012. Namun Uron mengaku, tidak tahu menahu masalah bantuan yang diberikan provinsi Jawa Barat berupa apa. Yang ia tahu jalan kini dibeton.***
Wartawan: Sopandi l Editor: Ayi Kusmawan