SEBELUM digitalisasi ikut berperan dalam kehidupan saat ini, beduk dan kohkol (kentongan) menjadi bagian yang identik dari masjid di kawasan Priangan. Keberadaanya semakin terasa sebagai ciri khas ketika ditabuh guna menandai waktu atau momentum penting, utamanya ketika bulan Ramadan.
Tanpa terkecuali di Masjid Agung Bandung (sekarang bernama Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat). Di awal berdirinya, Masjid Agung Bandung menggunakan beduk dan kohkol sebagai alat komunikasi dengan masyarakat kota ini.
Bahkan ketika itu, tahun 1910, suara beduk dan kohkol dari Masjid Agung Bandung ini terdengar hingga radius lebih dari 6 kilometer. Radius jangkauan suara kentungan dan beduk yang luas tersebut bukan hal mustahil bisa dilakukan, mengingat kondisi Kota Bandung yang kala itu masih berbentuk kawasan kecil di perbukitan.
Lingkungan yang asri dan jauh dari hiruk pikuk orang dan jejeran gedung bertingkat. Hal tersebut diungkapkan oleh Haryoto Kunto dalam bukunya Ramadhan Di Priangan (Tempoe Doeloe) yang diterbitkan Granesia pada 1996.
Haryoto menulis, kala itu dikisahkan pemerintahan Gementee Bandung ingin memperluas wilayahnya ke arah utara. Walhasil guna membangun akses jalan ke daerah tersebut dilakukan pemindahan perkampungan di kawasan Dago dan Coblong.
Pemindahan tersebut menelan anggaran sebesar 3.500 gulden. Uang tersebut disimpan menggunakan dua buah sarung bantal yang masing-masing dipakai untuk uang kertas dan logam.
Hal ini lantas membuat warga Dago dan Coblong cemas sehingga harus bersiaga semalaman untuk menjaga keamanan uang tersebut. “Hati penduduk baru ‘plong’ merasa lega, begitu mereka mendengar sayup-sayup trong kohkol (bunyi kentungan) Masjid Agung Bandung, yang menandakan malam telah menjelang subuh,” (Kunto, 1996:4).
Harry, panggilan Haryoto Kunto, mengungkapkan, di masa itu suara kohkol dari Masjid Agung Bandung di Alun-alun terdengar ke wilayah utara hingga ke Simpang Dago, Jalan Siliwangi, Wastukancana, Rancabadak, Sukajadi, dan Cibarengkok. Jika melihat pada kondisi Kota Bandung saat ini, tentunya jangkauan suara kohkol tersebut menjadi sangat menakjubkan, karena untuk suara azan yang menggunakan pengeras suara moderen pun sudah terdistorsi suara bising aktivitas perkotaan.
Berbeda ketika Harry menggambarkan Kota Bandung di awal tahun 1900-an, saat itu suasana tenang masih menyelimuti. Bahkan, untuk sekadar suara aktivitas pasar juga sampai terdengar jauh.
“Bandung di awal abad 20, bentang alami dataran tingginya masih lestari. Hiruk pikuk Pasar Baru bisa terdengar sampai Alun-alun dan Gedong Pakuan. Sedangkan bunyi beduk Masjid Agung Bandung terdengar sampai ke Ancol, Kaca-kaca Wetan, Andir, Lapang Tegalega, terkadang sayup-sayup bergema sampai kampung Balubur (Dago),” (Kunto, 1996:4-5).
Keberadaan beduk di Masjid Agung Bandung yang sekarang menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat masih dipertahankan. Menjelang azan berkumandang, beduk dibunyikan.****
Dikutip dari: humas.bandung.go.id | Editor: Ayi Kusmawan