Dunia terbalik. Itu kalau boleh meminjam sebuah klausa yang sekaligus judul sinetron. Bupati Bandung yang biasanya menjadi objek wawancara wartawan, tadi malam menjadi pewawancara dengan narasumber yang diwawancarainya adalah wartawan. Kok bisa?
SANGAT langka mendapatkan momen kebersamaan wartawan dengan sesama wartawan dan Bagian Humas Setda Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Memang betul, tiap ada acara liputan kebersamaan itu kadang didapat.Namun sangat beda situasinya ketika sedang meliput dengan momen media gathering (kebersamaan dengan media).
Seperti halnya pada media gathering yang diinisiasi Bagian Humas Setda Kabupaten Bandung, di Kabupaten Garut, Jum’at-Sabtu (18-19/10/2019). Puluhan wartawan yang tergabung dalam dua organisasi, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bandung Raya dan PWI Kabupaten Bandung mengikuti media gathering.
Acara bertajuk Sabilulungan Bring ka Garut, ini pada Jum’at siang diisi dengan game nyantai antarwartawan di halaman Hotel Santika Garut. Malam harinya, baru agak-agak seru, Ngawangkong Bareng (berbincang bersama) Bupati Bandung.
Tak biasa
Dalam acara ini, ada ketidakbiasaan terjadi. Salah satu teknik wartawan mendapatkan berita, yakni wawancara. Bupati adalah salah satu objeknya.
Malam itu, terbalik. Bupati Bandung, H Dadang M Naser, yang didapuk menjadi host sekaligus pewawancara. Pertanyaan yang ia lontarkan pun tak jauh dari dunia kewartawanan.
Sumber yang dihadirkan dan sekaligus menjadi objek wawancara, adalah Ketua PWI Kabupaten Bandung, H Rahmat Sudarmadji; Ketua IJTI Bandung, Raya Rezytia; Pemimpin Redaksi Harian Jabar Ekspres, Hendrik; dan Asisten Ekonomi dan Kesejahteraan Kabupaten Bandung, Marlan.
Rahmat Sudarmadji, nara sumber pertama yang mendapat pertanyaan bupati tentang tugas dan fungsi wartawan itu, dan apakah wartawan di Kabupaten Bandung itu sudah menjalankan kode etik jurnalistik dalam menjalankan tugasnya?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Rahmat mengaku merasa terhormat, karena biasanya, saat meliput, wartwan berkumpul dan makan di mana saja. Tapi dalam acara ini wartawan ditempatkan di tempat yang mewah dan suasananya menyenangkan.
Terkait tugas-tugas wartawan, lanjut dia,, yaitu menyampaikan informasi kepada masyarakat. Di lapangan, yang dilihat dan dirasakan wartawan disampaikan kepada masyarakat melalui media dengan cara dan gaya berita masing-masing.
Kontrol sosial
Selama ini, lanjut Rahmat wartawan di Kabupaten Bandung sudah berperilaku sesuai kode etik jurnalistik. “Apakah itu wartawan media mianstream, cetak, online unumnya sudah memenuhi apa yang diamanatkan oleh kode etik jurnalistik. Di Kabupaten Bandung itu ada 6.000 wartawan dari berbagai organisasi. Pada intinya berupaya, memenuhi kode etik jurnalistik,” katanya.
Sementara menurut Marlan, narasumber kedua yang mendapat pertanyaan tentang keberadaan wartawan, wartwan hadir sebagai kontrol sosial dan penyampai informasi secara meluas kepada masyarakat. Keberadaan wartawan sangat menguntungkan, karena bisa membantu menyampaikan program pemerintah kepada masyarakat.
Tapi, ia akui, terkadang ada birokrat yang alergi dengan media. “Manfaatnya sangat terasa. Saya sendiri tidak alergi meski pernah antara statemen saya dengan berita berbeda. Tapi setelah diklarifikasi mereka (wartawan) menerima,” ujar Marlan.
Ia sering mengikutsertakan wartawan dalam kunjungan kerjanya ke pelosok, dengan harapan kondisi daerah yang ia kunjungi bisa terwartakan oleh wartawan yang bersangkutan. “Saya sering membawa wartawan ke pelosok untuk menyampaikan informasi bagaimana, ketika saya di BPBD, mengabarkan kondisi bencana dan lain-lain,” katanya.
Tantangan Geografis
Ketua JTI Bandung, Raya, Rezy, ketika ditanya bupati tentang daya tarik Kabupaten Bandung menjadi objek pemberitaan TV, menjelaskan, daya tariknya antara lain letak geografis yang menjadi tantangan tersendiri bagi wartawan tv, karena wilayahnya luas. Sementara Hendrik, menyorot masalah pemberitaan Pemerintahan Kabupaten Bandung yang boleh disebut sangat dominan menjadi bahan pemberitaan di media.***
Wartawan: Sopandi l Editor: Ayi Kusmawan