Tak goyah oleh perubahan zaman yang serba praktis, produsen roti ini tetap bertahan dengan cara pemanggangan tradisional. Demi kepuasan pelanggan, ia tetap menggunakan kayu bakar dalam menyajikan produknya ini
ROTI diduga sudah menjadi olahan makanan sejak 30 ribu tahun silam. Meski merupakan salah satu makanan tertua di dunia, roti bukan sesuatu yang aneh di kalangan masyarakat.
Seiring perkembangan zaman jenis roti pun semakin beragam. Namun, sebelum diolah dengan beberapa varian selai kacang, coklat, strawberi, dan selai lainya, pada dasarnya roti dibuat tawar.
Kita kenal beberapa jenis roti tawar. Ada kadet dan kasino.
Tak sulit untuk mendapatkan roti tawar kadet atau kasino, tinggal pergi ke pasar atau ke toko roti. Tapi boleh dibilang sangat jarang menemukan produsen atau pembuat roti tawar yang tetap mempertahankan cita rasa dan kekhasan cara mengolah dan memasaknya.
Produsen asal Soreang
Dari yang jarang itu, adalah H. Heli (65 tahun), warga Kampung Tegalilat RT 01/07, Desa Sekarwangi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sejak 1971 ia membuat roti tawar dengan bumbu racikan yang ia dapat secara otodidak.
Di rumahnya, yang difungsikan sebagai dapur rotinya, ia hanya mempekerjakan anggota keluarganya, dari memproduksi 1-2 kuintal bahan roti hingga sekarang 5 kuintal per hari.
“Tidak ada orang lain. Saya punya anak sepuluh, semua dilibatkan. Biar jadi penerus,” katanya.
Meski sempat merasakan kelesuan usahanya, ia tak mengubah haluan ke usaha lain. Dia pun konsisten, tetap tidak mau mengurangi bahan adonan rotinya hanya karena takut tidak untung.
Bahkan, sistem memanggang rotinya pun tetap menggunakan kayu bakar meski sulit mencari. Kayu bakar tersebut ia dapatkan dari luar daerah, Tasik atau Garut.
Distributor
Dari 1971 Heli tidak memajang rotinya di etalase toko, karena ketika rotinya sudah matang dari oven langsung di ada yang mendistribusikan ke pasar dan warung. Bahkan langsung diambil oleh para pedagang roti bakar bumbu yang biasa mangkal di beberapa tempat sekitar Kecamatan Soreang, Banjaran, Katapang, Margahayu, dan sekitarnya.
Namun sejak 1999, para distrubutor itu makin berkurang, sehingga ia pindah rumah ke seberang jalan dan memfungsikan rumahnya itu menjadi dapur dan toko roti.
Roti kering
Kalau dulu mengandalkan para distributor, sekarang mengandalkan orang yang lewat. “Alhamdulillah, meski lesu usaha ini tetap dijalani, karena masih menghasilkan,” katanya.
Dulu, ketika masih banyak distributor, aku Heli, jika barang habis belum tentu dapat untuk besar, karena bisa jadi beberapa hari kemudian barangnya kembali karena tidak laku. Roti buatannya hanya bisa bertahan (kadaluarsa) 5 hari, lebih dari itu bisa berjamur.
“Kalau masih bagus bisa dibuat bagelan atau roti kering dengan cara diiris tipis dan diberi bumbu mentega dan gula, serta dipanggang kembali. Tapi kalau kondisinya sudah jelek ya dibuang. Biasanya tergantung cuaca dan penyimpanan,” ujarnya.
Sekarang ia lebih bisa memperkirakan kapasitas produksinya, karena barangnya ada di toko sendiri. Jika sudah dua hari tidak laku, produksi dikurangi dan sebelum roti kadaluarsa, langsung diolah, karena peminat roti kering pun juga banyak. Dengan demikian ia bisa mempertahankan usahanya.***
Wartawan: Sopandi l Editor: Ayi Kusmawan