OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
SETIAP kali seorang CEO perusahaan mengambil alih (suksesor) tampuk. Dia seperti berdiri di persimpangan jalan!
Begitu juga dalam dunia politik! Saat Presiden AS Donald Trump mengambil alih kepemimpinan AS dari Joe Biden. Dia juga berdiri di persimpangan jalan!
Persimpangan jalan? AS telah menerobos “hutan larangan” yang telah ditetapkan oleh Presiden AS Bill Clinton (1993-2001)). Berlanjut George Walker Bush (2001-2009), Barack Obama (2009-2017), Donald Trump (2017-2021), dan Joe Biden (2021-2025).
Diksi Hamas sebagai organisasi teroris (1997), dan tidak boleh berurusan diplomatik dengan AS. Adalah ‘pakem’ yang ditetapkan AS. Namun kini diterobos pemerintahan Donald Trump.
AS yang menentukan. Kebijakan regional Washington dan negara sekutu (NATO dll), dilarang berhubungan langsung dengan Hamas. Padahal Hamas tengah memperjuangkan kemerdekaan rakyat Palestina, dengan “caranya”.
Tidak ada kompromi. Bagi AS, Hamas adalah teroris. Sebagaimana Israel juga menyebut diksi yang sama. Hamas adalah teroris.
Presiden AS Donald Trump yang dilantik Januari 2025 lalu adalah sosok unik. Banyak kalangan menyebut, keputusannya sering mengejutkan. Di luar dugaan. Berpikirnya ‘lateral’ dan horisontal.
Kebijakan AS terhadap Hamas selama 28 tahun lalu. Telah mengisolasi Hamas. Individu ataupun organisasi penggalangan dana untuk Hamas, telah menjadi “target operasi” oleh AS. Sederhananya, Hamas dikucilkan.
Negara-negara seperti: Mesir, Arab Saudi, dan sejumlah negara kawasan teluk (Gulf) tidak ada yang mau berhubungan dengan Hamas. Takut disanksi AS!
Kecuali Qatar yang menyediakan “rumah” bagi pemimpin politik Hamas di luar negeri. Sejumlah negara yang dimusuhi AS: Suriah, Iran, Lebanon Selatan (basis Hezbollah), juga dijadikan tempat berpijak untuk menyuarakan kemerdekaan Palestina.
Qatar yang punya pendirian membantu perjuangan Hamas. Acap didesak oleh AS untuk tidak menjadi tempat pijakan perjuangan. Namun Qatar tak pernah goyah. Tekanan untuk mengusir Hamas, tak diindahkan Qatar.
Pemimpin Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh. Sebelum terbunuh oleh ledakan bom di Teheran, tahun lalu. Sejak lama bermarkas di Qatar.
Begitu juga Khaled Meshaal. Setelah menutup kantor Hamas di Damaskus (Suriah), Meshaal ikut bergabung dan bermarkas di Qatar. Sementara, Wakil Kepala Biro Hamas, Saleh Al-Aroury bermarkas di Lebanon. Aroury tewas oleh ‘drone’ Israel tahun 2023.
Tidak ada pemimpin dengan pola pikir, tanpa batasan tertentu. Tak ada pemimpin yang berpikir “fixed”, atau menetap.
Donald Trump, sekalipun acap memberi ancaman kepada Hamas. Seperti: “Tidak ada satupun anggota Hamas yang akan aman. Jika Anda tidak melakukan apa yang saya katakan”.
Diksi bernada keras Trump lain kepada Hamas. “Lepaskan semua sandera sekarang! Jangan nanti! Atau semua berakhir bagi kalian”.
“Hutan larangan”, dan pantangan berbicara langsung dengan organisasi yang “didiksikan” AS dan Israel sebagai teroris. Telah dilanggar.
Utusan AS untuk Timur Tengah adalah “CEO” Donald Trump. Dia telah berdialog langsung dengan Hamas di Doha (Qatar). Untuk membicarakan pembebasan sandera yang berkait dengan kewargaan ganda AS-Israel.
Apa yang dilakukan Adam Boehler sebagai kepanjangan tangan Trump adalah satu integritas. Integritas, bukan melakukan sesuatu yang semata dianggap benar (tidak melanggar pakem).
Namun, tindakan utusan Trump (Adam Boehler) berunding dengan stempel “teroris” (baca: Hamas), adalah untuk mengurangi kerusakan dan kebuntuan Israel-Hamas.
Lagi pula, stempel teroris terhadap Hamas, kini telah bergeser dan jadi pertanyaan inklusif (kecuali AS-Israel). Siapakah yang teroris?
Apakah mayoritas masyarakat dunia memastikan bahwa Hamas adalah teroris? Terlebih setelah Gaza dan 48.000 rakyat Palestina tewas.
Pembicaraan langsung antara Adam Boehler (utusan Trump) untuk membebaskan Edan Alexander (warga AS-Israel) dengan Hamas telah “melangkahi” Israel. Akurasi pertemuan tersebut terkonfirmasi lewat media sosial Donald Trump (The Guardian, 5/3).
Apa yang dilakukan AS, tentu tidak kali ini saja. Taliban (Afghanistan) yang juga distempel teroris oleh AS, atau Iran yang bermusuhan dengan AS. Meskipun “berpura-pura” tidak ada perundingan, perundingan untuk mencari “breakthrough” (terobosan), pasti telah terjadi.
Sebagai pengamat Timur Tengah. Saya memprediksi. Pembicaraan langsung Adam Boehler dengan Hamas ini, berdampak baik. Ada keyakinan, sebentar lagi perundingan gencatan senjata Tahap-2, akan berlangsung antara Hamas-Israel.
AS saja bisa bertemu langsung dengan Hamas. Mengapa Israel tidak? AS pasti memahami sejarah “mandat Palestina” oleh Inggris. AS tahu, bagaimana negara Israel lahir.
Yoram Schweiter seorang analis Israel dan mantan perwira intelejen Israel memprediksi. Pertemuan utusan Trump dengan Hamas, melahirkan momentum. Bakal dimulainya kembali perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas.
Semoga Israel-Hamas memilih persimpangan yang sama. Perdamaian abadi.