DARA| JAKARTA – Krisis ekonomi yang terjadi ketika tahun 1997-1998 bagi Indonesia terjadi karena ada aliran modal balik besar-besaran di Asia, termasuk di Indonesia. Akibatnya, kondisi likuiditas dalam negeri terguncang. Demikian diungkapkan mantan Wakil Presiden, Boediono, berbicara dalam acara peluncuran buku ‘Mengejar Fajar’ di Djakarta Theater, Rabu (28/11). Menurutnya, kemudian Indonesia meminta IMF untuk membantu hingga akhirnya IMF kecuali memberikan masukan, juga dukungan pendanaan.
Realisasinya, kenang Boediono, pemerintah menutup 16 bank sakit dan melaksanakan reformasi struktural dengan mengendalikan likuiditas pada November 1997. Total aset dari 16 bank yang ditutup tersebut relatif kecil, hanya berkisar tiga sampai empat persen dari total aset perbankan kala itu. Namun, resep tersebut malah menghantam psikologis pasar dan membuat kepanikan masyarakat. Itu terjadi karena pemerintah tidak memberikan sistem penjaminan penuh atas simpanan (full blanket guarantee) saat bank ditutup.
Buntutnya, kata Boediono, beberapa hari setelah penutupan bank, banyak nasabah mengalihkan simpanannya ke bank lain yang dinilai lebih aman. “Waktu itu, IMF tidak memikirkan dampaknya seperti ini,” ujar Boediono.
Lalu, setelah tiga bulan berjalan pemerintah mulai menyadari dampak resep IMF ke perekonomian Indonesia, di antaranya bank kelabakan mencari dana, L/C Indonesia tidak diterima di luar negeri, dan masyarakat lebih menyukai dolar AS dibandingkan rupiah yang kursnya anjlok. “Akhirnya, Januari 1999, pemerintah mulai memperbaiki kebijakannya dengan memberikan jaminan pengembalian simpanan. Berlaku efektif Maret 1999 saat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terbentuk,” ujarnya.***
Editor: denkur