DARA | Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) melakukan visitasi ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Santosa Hospital Bandung Central (SHBC), Bandung, Rabu (16/5/2025).
Kehadiran BPOM RI yang dikepalai Prof dr Taruna Ikrar, M.Biomed., MD., Ph.D, untuk memastikan pelayanan dan layanan ke farmasian serta instalasi di rumah sakit, bisa berjalan dengan baik.
Menurutnya, untuk melakukan perlindungan pengawasan dan penjamin terhadap masyarakat luas, rumah sakit di seluruh Indonesia harus memperhatikan hal tersebut.
“Sesuai aturan bahwa BPOM itu memastikan keamanan menjadi penjamin efikasi dan kualitas serta untuk melindungi masyarakat luas,” ujarnya pada wartawan saat ditemui di ruang rapat SHBC.
Ia menyebutkan, total rumah sakit, puskesmas dan instalasi kefarmasian di seluruh Indonesia mencapai 38.000-an. Untuk Puskesmas jumlahnya mencapai 11.000-an, rumah sakit 10.000 an, sisanya kefarmasian.
Salah satu rumah sakit yang dipandangnya cukup baik dalam urusan intalasi kefarmasian adalah SHBC. Kata Ikrar, hasil visitasi ke rumah sakit tersebut menunjukkan intalasi kefarmasiannya cukup baik.
Ada beberapa inovasi yang sangat penting diterapkan SHBC dalam urusan kefarmasian ini, seperti sudah memberlakukan sistem digitalisasi.
“Ini perlu jadi contoh rumah sakit lain, digitalisasinya mulai dari penulisan resep, bagaimana menyiapan obat dengan seleksi yang ketat berdasarkan digital,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ikrar mengupas tentang fungsi sistem digital kefarmasian seperti mengurangi human error, mempercepat pelayanan dan mencegah terjadinya pemalsuan dan mencegah terjadinya penggunaan obat yang tidak sesuai aturan.
“Contoh, saya menyaksikan bagaimana mulai dari awal resep itu ditulis kemudian resep itu dibuat kemudian dibuatkan obatnya sistim barcode kemudian ada sistim kontroling, yang luar biasa,” bebernya.
Hal lainnya yang menjadi nilai plus SHBC lanjut Ikrar, tentang perkembangan transfer teknologi yang berhubungan dengan produk biologi, pengembangan monoklonal antibodi.
Transfer teknologi seperri monoklonal antibodi tersebut, bisa menekan harga obat lebih ringan.
“Karena kita tahu jumlah bahan baku obat yang ada di Indonesia itu, 6 persen yang diproduksi dalam negeri dan 94 persen impor,” jelasnya lagi.
Oleh karena itu, Ikrar mengapresiasi kefarmasian SHBC yang dinilainya sudah memenuhi standar.
“Jadi kalau kita ada angka tertinggi nampaknya Santosa sudah sesuai dan lolos. Dan kita harap bisa ditingkatkan pelayanan khususnya di bidang kefarmasian,” kata Ikrar.
Ia berharap SHBC terus meningkatkan kefarmasiannya dan bisa jadi motivasi bagi rumah sakit lainnya.
” Mudah-mudahan ini bisa jadi penyemangat bagi perusahaaan lain untuk bekerja seperti apa yang dilaksanaakan oleh Santosa,” ucapnya.
Sementara, Direktur UtamaSHBC, dr. Luke Lompoliu, MM menyatakan, pihaknya saat ini tengah mengembangkan sistem digital kefarmasian ke tingkat yang lebih Komplek lagi.
Ia juga menyatakan jika SHBC, terbuka bagi rumah sakit lain yang ingin melakukan studi banding ke tempatnya.
“Kita sangat terbuka, apabila ada yang ingin studi banding (ke SHBC),” ucapnya.***
Editor: denkur | Keterangan gambar: Saat kunjungan BPOM RI ke SHBC (foto: dok SHBC)