Dr Wijayanto Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyatakan bahwa politisasi riset adalah salah satu ciri kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia.
DARA – “Hasil kajian LP3ES lewat hasil kajian/riset para ilmuwan politik dalam dan luar negeri memang menyatakan terjadinya kemunduran kualitas demokrasi secara signifikan di Indonesia,” ujar Wijayanto dalam diskusi “Politisasi Sains dan Lembaga Riset” selasa malam (15/9).
Wijayanto juga menyatakan bahwa kebijakan riset di kampus-kampus Indonesia saat ini justru menjadi legitimasi dari kebijakan. “Bukannya sebuah kebijakan pemerintah dievaluasi dulu dengan riset yang benar dari akademisi kampus, dan dinilai berdasar standar akademis?“ kata Wijayanto, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Kamis (16/9/2021).
Ia juga mencontohkan bahwa di Indonesia pada Januari 2021 saja telah terjadi 100-an lebih bencana alam. Sebab terbanyak ditengarai dari rusaknya lingkungan, ruang terbuka hijau yang berganti menjadi perumahan dan gedung, daerah aliran sungai yang juga rusak.
“Ironisnya, dunia akademis malah memberikan rekomendasi dari sebuah kebijakan yang nyata-nyata tidak lulus AMDAL, misalnya,” ujarnya.
Hal itu juga terjadi pada sikap dan kebijakan para pejabat tinggi di Indonesia yang cenderung anti sains dan mengabaikan suara-suara akademisi tentang sikap yang benar menghadapi awal merebaknya pandemi covid 19.
Tergerusnya kebebasan sipil dan kebebasan akademik di Kampus agaknya juga menjadi dasar dari tergerusnya kemandirian dan kebebasan ilmiah melalui dileburnya lembaga-lembaga riset dan teknologi ke dalam suatu Badan Riset dan Inovasi (BRIN).
“Hal itu ditengarai adalah akibat dari menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia yang dibajak oleh oligarki dengan memunggungi hak warga negara. Agaknya persekongkolan oligarki dengan kekuasaan adalah rangkaian dari upaya untuk melanggengkan kekuasaan,” katanya.
Ia menyatakan bahwa politisasi ilmu pengetahuan dan dunia akademik menjadi ciri menurunnya kualitas Demokrasi berikutnya.
Dunia akademisi kampus saat ini lebih didominasi oleh urusan teknis seputar borang akreditasi, urusan SPJ penelitian. “Urusan teknis ketimbang bergelut dengan data riset, diskusi ilmiah nasional dan internasional seperti yang dengan nyaman dilakukan oleh para ilmuwan dan akademisi di luar negeri,” ujarnya.
“Hal itu menjadi semakin runyam ketika kini para akademisi diwajibkan melakukan apel pagi setiap jam 10.00 meski pada jam yang sama ada jadwal mengajar,” imbuhnya.
Prof Didik J Racbini menyatakan keprihatinannya terhadap masalah kebebasan akademik di kampus-kampus Indonesia mulai merosot seiring dileburnya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan lembaga ilmiah lainnya di bawah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)
“Bukanlah satu keputusan akademis yang berasal dari kajian ilmiah yang bersandar pada kebenaran ilmiah, tetapi lebih merupakan sebuah keputusan politik kekuasaan yang mengabaikan aspek kebebasan dan kebenaran ilmiah,” ujarnya.
Didik menyoroti bahwa hal ini menjadi sebuah masalah yang sangat serius dan perlu dipertanyakan. Karena satu kebenaran ilmiah tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan politik darimanapun asalnya.
Dr Dipo Alam mantan peneliti LIPI, menyoroti tiga cacat serius kebijakan untuk melebur lembaga-lembaga riset dan LIPI di bawah BRIN.
Pertama adanya cacat material, karena tidak didapat atau sulit ditemukan referensi untuk membandingkan kajian model pembentukan BRIN dan adanya Dewan Pengarah di dalamnya.
“Hal itu hanya dapat diperbandingkan dengan struktur organisai politik Partai Komunis China (PKC) dimana adanya Dewan Pengarah,” katanya.
Menurut Dipo, yang kedua adalah cacat formil. Keberadaan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan riset di Indonesia telah diperintahkan oleh Undang-undang no. 11/2009 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), namun kelembagaan BRIN hanya diatur melalui Keputusan Presiden (Kepres).
“LIPI dibentuk oleh UU No 6 tahun 1956 juga oleh Ketetapan LPI melalui Tap MPRS No. 18b tahun 1967. BATAN dibentuk oleh UU No 31 tahun 1964 dan diperkuat oleh UU No 10 tahun 1997,” kata Dipo.
Dipo mempertanyakan sejak kapan sebuah Kepres boleh melangkahi bahkan menganulir Undang-undang. “Tidak ada satupun pasal di UU Omnibus Law yang menyebutkan adanya perintah untuk melebur lembaga-lembaga Ilmu pengetahuan dan riset,” imbuhnya.
“Menjadi masalah serius, dimana BRIN malah mem-bypass semua undang-undang yang membentuk semua lembaga riset. Bahkan kesemuanya hanya dibubarkan melalui sebuah Kepres.” ujarnya.
Ketiga, adanya Cacat Mental. BRIN yang dibentuk lewat Kepres No. 33 tahun 2021 tidak lagi didasari oleh spirit dari riset dan inovasi yang benar. Keberadannya tidak lagi mencirikan sebuah organisai riset level negara, tetapi sudah mirip ormas atau lembaga politik. Terlebih dengan adanya stuktur Dewan Pengarah di dalamnya.
“Padahal, dalam Perpres BRIN lama No. 74 tahun 2019 tidak disebutkan adanya struktur Dewan pengarah. Pada Pasal 4 hanya disebutkan Struktur lama terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan, dan Deputi Bidang Penguatan Inovasi,” kata Dipo.
Keberadaan Dewan Pengarah jelas bermasalah dan amat tidak lazim seperti halnya sebuah organisasi atau lembaga riset. Hal tersebut hanya lazim berada di partai politik atau ormas.
Dari situ dapat disimpulkan tentang adanya orang kuat yang bisa mengarahkan jalannya organisasi riset dan ilmu pengetahuan. “Keberadaan orang kuat hanya biasa terjadi di negara-negara komunis. Lagipula, posisi Kepala BRIN terlihat hanya bersifat adminstratif, wewenang strategis pada Pasal 6 Kepres BRIN semua dipegang oleh Dewan Pengarah,“ ujarnya.
Lebih lanjut menurut Dipo, terlihat secara umum keberadaan BRIN hanya sebuah akrobat politik dari sementara pihak yang lebih besar interest sumber daya ekonomi dari anggaran riset yang sepertinya digelembungkan.
“Dulu pada anggaran 2017 UKP PIP Setkab hanya Rp7 Miliar/tahun. Setelah ada anggaran konsolidasi masuk ke BRIN menjadi Rp16,6 Triliun/tahun,” kata Dipo.
Hal tersebut lanjut Dipo, menjadi ironi di tengah pandemi dan resesi ekonomi seperti sekarang yang memaksakan pembentukan organisasi yang belum jelas blue print-nya, dan akan mengelola anggaran besar yag patut dipertanyakan.
Sementara Ketua Dewan Pengarah juga seorang ketua partai politik dan unsur Dewan Pengarah sebuah lembaga pembinaan ideologi BPIP, tentu dipertanyakan. “Di negara totaliter seperti China sekali pun, integrasi lembaga riset hulu ke hilir belum pernah ada modelnya. Di sana lembaga ristek menjadi pengambil kebijakan dan kebijakan hasil lembaga riset tersebut di share ke lembaga-lembaga lain,” ujar Dipo.
Masih menurut Dipo tidak ada model integrasi lembaga riset hulu ke hilir. Begitu pula di Korea Selatan, pada lembaga Korea Institute Science and Technology, juga pada lembaga KAIS (Korean Advance Institute of Science and Technology).***
Editor: denkur