Catatan Diskusi: “Masa Depan dan Kesinambungan Failed State Afghanistan”

Jumat, 3 September 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dr Phil Shiskha Prabawaningtyas, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy (Foto: Istimewa)

Dr Phil Shiskha Prabawaningtyas, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy (Foto: Istimewa)

Intervensi berbagai negara di Afghanistan meninggalkan penderitaan hingga 50% warganya hidup di bawah garis kemiskinan.


DARA – Demikian disampaikan peneliti INDEF, M Zulfikar Rahmat, Ph.D dalam diskusi publik secara virtual “Masa Depan dan Kesinambungan Failed State Afghanistan”, Jumat (3/9/2021).

Diskusi yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bekerjasama dengan Universitas Paramadina dan Universitas Islam Indonesia (UII) ini juga menghadirkan pembicara Dr Phil Shiskha Prabawaningtyas, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy dan dimoderatori oleh Eisha Maghfiruha Rachbini, Peneliti INDEF.

Zulfikar mengatakan sejarah Afghanistan merupakan negara yang kerap dilanda perang akibat diintervensi oleh berbagai negara seperti Inggris (1839-1919), Uni Soviet (1979-1989), dan Amerika Serikat (AS) pada 2001-2021

Sebanyak 5,5 juta penduduk Afghanistan mengalami food insecurity, defisit neraca perdagangan yang mencapai sekitar 30% GDP, dan ketergantungan 80% pada dana bantuan luar negeri.

“Wajar kemudian Afghanistan dijuluki sebagai negara gagal,” katanya dalam keterangan resmi yang diterima redaksi, Jumat (3/9/2021).

Rangking Gross domestic product (GDP)-nya berada di papan bawah pada urutan 213 dari 228 negara, dan rangking hutang publik di posisi 202 dari 228 negara.

“Sementara kredit sektor swasta hanya mencapai 3% dari GDP, namun belanja keamanan mencapai 28 % dari GDP pada 2019,” ujar Zulfikar.

“Taliban dapat dengan cepat menguasai Afghanistan disebabkan oleh strategi perang Taliban, legitimasi masyarakat yang tinggi, serta korupsi yang parah pada pemerintahan dan mundurnya pasukan AS,” imbuhnya.

China yang melihat dengan jeli peluang memanfaatkan mundurnya AS, segera “merapat” ke pihak Taliban. Hal itu karena ambisi China yang ingin mewujudkan jalur One Belt One Road (OBOR)-nya melintasi Afghanistan via Asia Tengah, Eropa Timur dan Eropa Barat.

Dosen UII ini juga menyatakan bahwa Afghanistan mempunyai potensi cadangan logam (rare earth) bahan pembuat microchip dan teknologi mutahir lainnya yang diperkirakan bernilai 1 triliun dolar AS.

“Hal lainnya, China juga ingin mengurangi potensi penyebaran jaringan teroris terkait muslim Uighur di Xinjiang.” katanya.

Menyinggung hubungan ekonomi Zulifkar menyatakan Indonesia mendapat peluang ekonomi terbatas ke Afghanistan ”Peringkat ke 127 negara tujuan ekspor Indonesia dengan total nilai ekspor sebesar 21,38 juta dolar AS pada 2020.”

Meskipun kontribusi ekspor RI ke Afghanistan hanya 163,19 miliar dolar AS, namun tren pertumbuhan eskpor cukup positif mencapai 2,91% pada 2016 hingga 2020.

Masih menurut Zulfikar, di masa pandemi ini ekspor RI mampu tumbuh positif 36,87% secara tahunan. “Tercatat surplus neraca perdagangan RI sebesar 20,89 juta dolar AS dengan Afghanistan. Ekspor produk farmasi RI juga tumbuh 365,69% dari US$ 507,7 ribu (Januari-Juni 2020) menjadi US$ 2,36 juta pada Januari-Juni 2021,” katanya.

Sementara itu, menurut Dr Phil Shiskha Prabawaningtyas secara kajian geopolitik, Afghanistan sebagai negara “Landlord” yang tak henti bergejolak juga dikeliingi negara-negara yang juga relatif “bermasalah” seperti Iran di selatan.

“Pakistan sebagai tempat transit dan pemupukan ideologi Taliban pada awalnya, Turkmenistan dan tentu saja bertetangga dengan negara besar seperti Rusia dan China,” katanya.

Ia menyatakan bahwa Afghanistan juga lahan subur bagi cerita-cerita “proxywar” transmisi ideologi transnasional berkembang.

“Ketika Rusia mundur dari Afghanistan menandai berakhirnya perang dingin dan munculnya landasan baru yakni sovereignity atau kedaulatan negara yang sering kali menjadi konsep utama studi-studi Hubungan Internasional.” kata Shiskha.

Afghanistan juga tak ketinggalan menjadi dasar bagi pemahaman baru konsep makna kedaulatan negara. Begitu pula dengan konsep “failed state” atau negara gagal yang mengambil Afghanistan (selain Somalia dulu) sebagai contoh kasus.

Shikha mengungkapkan bahwa peristiwa 9/11 di Amerika Serikat juga menjadi dasar diskusi kedaulatan negara terkait praktik diplomasi, coersif diplomacy, dan international organization.

“Invasi AS ke Afghanistan untuk menggulingkan pemerintahan Taliban pada 2001 menandai kebijakan coersif diplomacy AS untuk mencari pelaku serangan 9/11 yang dianggap dilindungi oleh pemerintahan Taliban,” ujar Shiskha.

“Coersif diplomacy AS ke Afghanistan kala itu bahkan mendapatkan semacam persetujuan dari badan dunia PBB dan dijadikan landasan bagi perang melawan terorisme di seluruh dunia,” imbuhnya.***

Editor: denkur

 

Berita Terkait

Dosen DKV Universitas Paramadina lolos Tjilatjap International Film Festival 2025
Calon Pebisnis Sukses Mari Merapat, Pegadaian GadePreneur 2025 Resmi Dibuka!
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi: Hentikan Alih Fungsi Lahan di Puncak Bogor
Dibaca Usai Tarawih, Berikut Bunyi Doa Kamilin dan Terjemahannya
Berapa Besaran THR di Era Prabowo? Ini Dia Beritanya
Siaran Ramadan di Medsos Harus Edukatif dan Ramah Anak
Ramadan tak Sekadar tentang Ibadah Pribadi
Keutamaan Niat Puasa
Berita ini 3 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 4 Maret 2025 - 15:23 WIB

Dosen DKV Universitas Paramadina lolos Tjilatjap International Film Festival 2025

Selasa, 4 Maret 2025 - 15:04 WIB

Calon Pebisnis Sukses Mari Merapat, Pegadaian GadePreneur 2025 Resmi Dibuka!

Senin, 3 Maret 2025 - 13:41 WIB

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi: Hentikan Alih Fungsi Lahan di Puncak Bogor

Minggu, 2 Maret 2025 - 10:16 WIB

Dibaca Usai Tarawih, Berikut Bunyi Doa Kamilin dan Terjemahannya

Minggu, 2 Maret 2025 - 09:53 WIB

Berapa Besaran THR di Era Prabowo? Ini Dia Beritanya

Berita Terbaru

CATATAN

NERAKA GAZA Israel “Mengunci” Hamas!

Selasa, 4 Mar 2025 - 15:19 WIB