BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) muncul sebagai kekuatan baru yang menantang dominasi ekonomi AS dan Eropa.
DARA | Universitas Paramadina melalui Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) menggelar diskusi bertajuk “BRICS vs OECD: Indonesia Pilih yang Mana?”
Diskusi ini membahas posisi strategis Indonesia dalam dinamika ekonomi global, terutama terkait potensi pilihan bergabung dengan kelompok negara-negara BRICS atau OECD.
Prof Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, menjelaskan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) muncul sebagai kekuatan baru yang menantang dominasi ekonomi AS dan Eropa.
“Rusia dan China belum lama ini sudah menyatakan bahwa BRICS lebih besar dari OECD. Dengan pasar yang luas dan populasi dalam skala yang lebih besar dan berkembang,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (31/10/2024).
Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, MPP., menilai meskipun BRICS membawa potensi besar untuk ekspor dan stabilitas mata uang, tantangannya adalah ketergantungan lebih besar pada China serta hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat yang bisa lebih kompleks.
Wijayanto Samirin, MPP., Ekonom Senior Universitas Paramadina, menyoroti ketertarikan 34 negara untuk bergabung dengan BRICS, termasuk Arab Saudi yang menempati posisi penting sebagai negara petrodolar.
Ia menjelaskan meski hubungan ekonomi global sebagian besar masih didominasi oleh dolar AS, BRICS mampu membuka peluang ekonomi melalui stabilitas mata uang lokal dan peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) untuk negara anggotanya.
“Market power BRICS lebih menjanjikan, meski dua negara BRICS sedang mengalami penurunan pertumbuhan penduduk. Jika dibandingkan, pada 2006 -2024 GDP BRICS tercatat lebih tinggi dibanding negara-negara G7/OECD, IMF juga memperkirakan GDP BRICS akan lebih maju ke depan,” tuturnya.
Saat ini Indonesia dihadapkan dengan opsi lebih tepat untuk bergabung dengan keduanya BRICS atau OECD atau bahkan keduanya? Atau pilihan terakhir adalah tidak memutuskan bergabung ke BRICS atau OECD seperti 10 tahun terakhir, tetapi akan kehilangan opportunity dan terlambat, sehingga tidak punya peran optimal dalam membentuk platform dan arah organisasi tersebut.
Ahmad Khoirul Umam, Ph.D., Managing Director PPPI sekaligus Ketua Program Studi PGSD Universitas Paramadina, menegaskan keterbukaan Indonesia dalam peta ekonomi-politik internasional.
Mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri Sugiono, Umam menggarisbawahi inklusivitas Indonesia dalam diplomasi ekonomi.
“Indonesia kini berada pada persimpangan penting untuk memperkuat posisinya di antara BRICS atau OECD demi mencapai kesejahteraan dan stabilitas ekonomi,” ujar Umam.
Menurut Umam, jika Indonesia bergabung dengan BRICS akan semakin berkembang dan serupa dengan negara-negara anggota BRICS lainnya, sehingga memungkinkan bagi indonesia berbagi di bidang ekonomi pembangunan.
“Keuntungannya, memperkuat ekonomi global, mengingat negara anggota BRICS memiliki pengaruh yang besar dalam perekonomian global,” katanya.
Umam memaparkan jika Indonesia bergabung dengan BRICKS ada potensi resiko ketegangan dengan negara-negara barat, artinya keberpihakan pada aliansi barat menghasilkan sebuah karakter pola relasi yang penuh dengan kecurigaan.
Dalam konteks ini yang perlu di antisipasi adalah ketergantungan ekonomi yang lebih besar Indonesia kepada China, karena yang menjadi sumber kekuatan BRICKS saat ini adalah china.
Fajar Anandi, Dosen Universitas Paramadina mengungkapkan Indonesia berada pada peringkat ke-9 dari sisi regional bahwa memiliki peran yang sangat kuat dan besar. Jika melihat posisi Indonesia, kemudian muncul pertanyaan OECD atau BRICS?
“Pertama yang kita dapatkan adalah international influence, memperkuat hubungan diplomatic & kolaborasi aktif, meningkatkan kapasitas nasional, mempertahankan kepemimpinan regional dan akses sumber daya,” katanya.
“Kemudian muncul pertanyaan bagaimana kita seharusnya menavigasikan kondisi ini? “Harus pragmatis dan kontekstual, harus menggunakan kekuatan terbesar yaitu tidak punya patron dan tidak terbatas, harus menyiapkan dari sisi kapasitas yaitu blueprint kebijakan luar negeri yang jelas dan berkesinambungan sehingga tidak keluar jalur, kemudian aktif mingle dengan negara manapun,” imbuhnya.***
Editor: denkur