Tuyul, sosok beken yang sudah ada sejak dulu. Siapa dia?
DARA | Hampir semua orang tahu, apa itu tuyul dan kenapa dia ada.
Tuyul, dalam mitologi Jawa digambarkan sebagai sosok mahluk halus yang berperawakan kerdil, berkepala botak dan selalu mengenakan cawat.
Kerjaannya mencuri uang dari rumah ke rumah atas suruhan sang majikan.
Pertanyaan pun muncul kalau memang Tuyul selalu mencuri uang, kenapa hanya sebatas dari rumah ke rumah, kenapa tidak sekalian saja mencuri di bank, toh jumlahnya akan lebih banyak karena bank tempat penyimpanan uang?
Memang benar, sepanjang sejara keberadaan Tuyul dengan segala tindak tanduknya, belum pernah mendengar ada Bank yang disantroni Tuyul lalu uangnya raib.
Tuyul tampaknya hanya berani menyelinap dari rumah ke rumah untuk mencuri uang atas suruhan sang majikan.
Bahkan, menurut budayawan, Suwardi Endraswara dalam Dunia Hantu Orang Jawa (2004), ternyata tuyul juga mencuri barang dan surat-surat berharga lainnya.
Jawaban mengenai kenapa Tuyul tidak berani mencuri uang di Bank, hingga saat ini belum ada penjelasan pasti. Namun, menurut sebagian orang itu karena Tuyul takut terhadap logam karena uang di bank tersimpan di brankas.
Selain itu, ada juga yang menyebut jika di bank terdapat “penjaga” berupa makhluk halus lain yang ditakuti tuyul.
Sejak kapan mahluk bernama Tuyul itu ada?
Ada cerita menarik yang ditulis CNBC Indonesia yang kemudian sengaja dikutip dara.co.id tentang awal mula lahirnya sosok Tuyul, Minggu (7/1/2024).
Tahun 1870, saat itu Belanda meresmikan kebijakan pintu terbuka atau liberalisasi ekonomi menggantikan sistem tanam paksa.
Sekilas perubahan ini membawa angin segar karena dinilai mampu menyejahterakan masyarakat. Namun, kenyataannya ternyata tidak seperti itu.
Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), liberalisasi ekonomi justru melahirkan rezim kolonial baru yang di dalamnya terjadi pengambilalihan perkebunan rakyat untuk diubah menjadi perkebunan besar dan pabrik gula.
Situasi ini kemudian membuat kehidupan masyarakat terpuruk, khususnya para petani kecil di Jawa yang semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan, sebab mereka tak lagi memiliki kuasa atas lahan perkebunan.
Di sisi lain ada juga masyarakat yang sejahtera dari sistem ini. Mereka adalah pedagang, baik dari kalangan pribumi atau Tionghoa, yang dalam sekejap menjadi orang kaya baru.
Kenaikan pesat kekayaan mereka lantas menimbulkan keheranan bagi para petani yang kian melarat itu. Para petani bingung darimana asal-usul kekayaan mereka.
Sebagai informasi, pada saat itu para petani hidup apa adanya. Menurut Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang Negeri Yang Guncang (2019), mereka menganut sistem subsisten, yakni bertani sekadar cukup untuk konsumsi sendiri. Jika ada hasil tani lebih maka akan diberi sebagai upeti atau dijual.
Akibatnya, mereka punya pandangan bahwa pemupukan kekayaan adalah proses yang terbuka. Artinya, tiap orang harus melewati proses dan usaha jelas yang dapat dilihat oleh mata orang lain.
Namun, mereka tidak melihat kerja keras dari orang kaya baru itu. Terlebih, mereka tidak dapat membuktikan asal usul kekayaannya jika ditanya para petani.
Alhasil, timbul rasa iri dan kecemburuan oleh petani ke pedagang karena bisa mendapat harta sebanyak itu.
Terlebih, menurut George Quinn dalam An Excursion to Java’s Get Rich Quck Tree (2009), para petani selalu beranggapan datangnya kekayaan harus dipertanggungjawabkan. Maka dari itu, ketika orang kaya gagal mempertanggungjawabkan asal kekayaannya, para petani iri dan menuduh uang itu hasil pencurian.
Masyarakat yang kental dengan pandangan mistik membuat para petani memandang pencurian itu adalah kerja sama antara orang kaya dan makhluk supranatural dan kasat mata, salah satunya tuyul.
Jadi, para petani yang iri selalu menuduh orang kaya baru menggunakan cara haram dalam memperoleh kekayaan.
Akibat tuduhan ini, Ong Hok Ham dalam buku berjudul Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002) menyebutkan bahwa para petani membuat pedagang dan pengusaha sukses kehilangan status di masyarakat.
Mereka dianggap “hina” karena memupuk kekayaan dari cara haram, yakni bersekutu dengan setan. Padahal, ini semua terjadi akibat perubahan kebijakan kolonial Belanda yang membuat pengusaha tertimpa durian runtuh.
Kebencian para petani terhadap orang yang kaya mendadak tidak hanya berdampak pada hubungan personal semata.
Transaksi barang oleh orang kaya pun turut berubah. Orang kaya kemudian cenderung membeli barang yang tidak menunjukkan kekayaan mereka sesungguhnya, seperti emas atau barang-barang mewah. Apabila mereka membeli tanah atau rumah maka mereka akan dituduh memelihara setan atau tuyul oleh petani.
Tuduhan tak berdasar ini membuat popularitas tokoh tuyul sebagai subjek mistis dalam hal kekayaan semakin meningkat dan terus populer sampai saat ini di Indonesia. Terlebih, masyarakat Indonesia yang selama bertahun-tahun hidup secara agraris semakin melanggengkan imajinasi dan tuduhan menggunakan tuyul.
Editor: denkur