“Sebaiknya bapak tidak ke kampung sebelah. Kadatangan bapak hanya akan membuka luka lama orang sekampung. Bapak tidak akan disambut ramah. Bisa-bisa malah batu kerikil nemplok di jidat bapak. Bapak dibenci orang sana. Itu karena kelakuan bapak tempo dulu. Meski sudah puluhan tahun peristiwa itu terjadi, tapi orang-orang masih mengingatnya,” kata Maman, serius.
Tarji terdiam. Maman terus berkicau laksana burung beo.
Kelakuan bapak, lanjut Maman, masih membekas dan belum bisa dilupakan. Permohonan maaf yang bapak rencanakan hanya akan membuat warga disana makin sinis. Bapak bukan satu kali menyakiti perasaan mereka. Tiga kasus kegaduhan yang bapak buat adalah mempersempit ruang gerak bapak untuk masuk ke kampung itu. Sebaiknya bapak urungkan niat kampanye disana. Takkan ada masa yang datang. Maukah bapak pidato dihadapan kambing-kambing?
Tarji merasa terhina dengan ucapan Maman, pengawal setianya itu. Tapi, Tarji tak mampu berbuat banyak. Ia mengakui segala kelakuannya terhadap warga disana. Suatu hari sekian tahun silam, Ia datang kesana lalu ngamuk dan berteriak-teriak menyebut kampung itu sarang pencuri. Ia menuduh orang sanalah yang mencuri kerbaunya.
Tak hanya itu, Tarji pun sempat kembali datang ke kampung itu dan menyebut kampung itu tak ubahnya komplek pelacuran kelas receh. Itu ia ucapkan setelah mendengar banyak wanita orang sana yang pergi ke kota hanya untuk jual diri demi mengubah nasibnya. Bagi warga disana itu tudingan yang menyakitkan dan berbau fitnah.
Kasus lain yang makin membuat warga disana benci terhadap Tarji, ketika rumah Mang Darman dijabel karena tak mampu membayar utang. Tarji akhirnya dikenal lintah darat si raja tega. Meminjam uang ke Tarji bunganya sangat mencekik leher, korbannya tidak satu dua, salah satunya Mang Darman itu.
Pokoknya, bagi warga di kampung itu, Tarji adalah jelmaan setan yang terkutuk dan pantes dikutuk. Jangankan bertatap muka, dengar nama Tarji saja, orang sana cepat-cepat meludah. Perutnya tiba-tiba mual.
Sekarang, Tarji nyalon kepala desa. Tentu saja butuh suara banyak biar menang. Dua rivalnya, Tarjo dan Hamim disebut-sebut sudah mengantongi sekian persen suara dari empat dusun lain. Dua rival itu pula yang dijagokan bakal unggul. Sedangkan suara Tarji kata orang-orang paling banter hanya meraih suara satu rukun warga. Sebuah angka yang menyakitkan buat Tarji.
Tarji memang tak punya moral baik dimata masyarakat. Tapi ia punya modal uang yang melimpah yang sanggup menghancurkan basis suara dua rivalnya. Itu makanya ia sodorkan ide untuk ngebom suara dengan uang sebesar lebih dari pemberian dua rivalnya.
“Kepada warga di dusun lain bapak boleh memainkan ide itu. Tapi, khusus untuk kampung sebelah rasa-rasanya bakal mentok. Uang bapak berapapun bakal ditolak. Apalagi Tarjo dan Hamim sudah masuk kesana. Uang yang akan bapak berikan terlalu kecil dengan luka hati warga disana,” kata Maman.
“Aku nggak percaya. Uang adalah segalanya. Kebencian akan sirna dengan uang. Kalau Si Tajo dan si Hamin ngasih lima puluh ribu per orang, maka aku akan beri mereka dua kali lipat. Bukankah itu menggiurkan dan menghilangkan kebencian itu kepadaku?” jawab Tarji.
“Uangnya memang diterima tapi nyoblos bapak belum tentu,” Maman meyakinkan.
“Kalau begitu buat perjanjian dengan mereka. Jika mereka tak pilih aku maka uang harus dikembalikan,”
“Itu hanya akan membuat luka baru,”
“Jadi?”
“Bapak tak usah berpikir raih suara dari kampung itu. Gempur saja kampung lain, meski kecil juga kemungkinan bapak punya suara. Bapak kalah dalam pertarungan,”
“Gila kau, pernyataan kamu tak satu pun yang membuat aku tenang. Semuanya menakutkan, semuanya membuat aku bingung. Tapi aku tak gentar dengan kalimat-kalimat kamu. Aku yakin, dengan uangku aku menang. Biarlah ini jadi urusanku. Kamu saya pecat, tak usah lagi kerja denganku, sawahku yang kau garap aku cabut,” Tarji marah besar dan mengusir Maman.
Hingga seminggu jelang pemilihan, suara Tarji masih tak diperhitungkan. Namanya tak disebut-sebut dalam obrolan pinggir jalan dan warung kopi. Padahal, Tarji sudah mengeluarkan uang ratusan juta untuk warga. Ia gadaikan sawah dan rumahnya.
Ia sendiri yang keliling kampung membagikan uangnya. Jumlahnya memang besar melebihi uang yang diberikan dari Tarjo dan Hamim. Itu makanya Tarji tetap optimistis ia akan unggul dalam pilkades itu.
Tiga hari jelang pencoblosan, Tarji tak mengindahkan omongan Maman. Ia masuk ke kampung itu, sore hari saat warga rehat sepulang dari sawah dan ladangnya. Kampung itu terasa sunyi. Semua pintu dan jendela rumah tertutup rapat. Tak satu orang pun yang terlihat Tarji. Laksana kampung mati tak berpenghuni.
Tarji berjalan sendiri dan langkahnya terhenti saat melihat seorang kakek sedang memberi makan kambingnya. Tarji menghampiri kakek itu. Lalu ia sapa kakek itu dengan lembut. Namun, kakek itu tak membalasnya ia malah bergegas meninggalkan kandang kambingnya lalu masuk rumah.
Tarji hanya bisa menghela napas sesak. Benar apa yang dikatakan Maman, kata hati Tarji seraya melemparkan tatapannya ke sekeliling kampung itu. Ia keluarkan selembar karton besar bertuliskan kata maaf darinya. Karton itu ia gantungkan di pohon jambu di tengah kampung. Lalu ia selipkan amplop berisi uang lima ratus juta sejumlah warga disana.
Pemilihan pun berlangsung tiga hari kemudian dan Tarji ditemukan warga tergantung di pohon jambu di kampung itu. Didadanya tergantung juga secerik kertas bertuliskan kata maaf.***