Geger orang sekampung, Mang Darya tiba-tiba saja kaya raya. Sakwa sangka berseliweran di saung-saung sawah dan warung-warung pinggir jalan.
Mungkin saja dia menang judi atau dapat lotre. Tapi jangan-jangan dia ngepet, ‘toh akhir-akhir ini ia jarang di rumah. Pulang-pulang langsung kaya.
Siapa tahu dia korupsi, ‘ah kejauhan, sederejat buruh tani apa yang bisa dikorup?
Bagaimana kalau dia dapat warisan, ah itu pun tidak mungkin, sekampung tahu orangtuanya justru lebih miskin dari Darya. Warisan macam apa.
Berseliweran, berkecamuk, membabi buta, ribuan kata umpatan melayang-layang di langit kampung itu. Kampung yang dulu damai, kini ramai dengan kata-kata iri.
“Ah, Jangan denger omongan orang. Mereka itu iri,” kata Darya kepada istrinya suatu sore.
“Ya, aku juga nggak peduli. Orang miskin kerjaannya memang iri melihat harta orang,” jawab Edoh.
Dulu ketika kemiskinan masih mengacowkan keharmonisan rumahtangganya, hampir tak sehari pun tanpa ribut. Kemiskinan membuat keduanya gampang emosi, sensitif. Sekecil-kecilnya masalah lalu malah membesar laksana api kebakaran yang melahap pasar desa.
Bagi Darya dan Idoh kemiskinan bukan harus disyukuri tapi neraka yang membakar sekujur tubuhnya. Menyakitkan, memilukan dan sering jadi sasaran hinaan orang.
Tapi itu semua sudah berlalu. Kenyataan yang harus dilupakan, saking ngerinya.
Kini kebahagiaan ada dalam genggaman. Harta adalah keindahan, kaya adalah kenikmatan. Pasutri itu pun serasa ada di surga yang segalanya serba ada dan disediakan. Mau apa dan mau makan apa, semuanya serba mudah, didapat dibeli.
Lalu, saat malam yang hening dan hujan rintik-rintik sejak sore tadi, Darya memberi petuah, petunjuk dan paparan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Seperti Pak Bupati memberi arahan kepada ASN yang mangkir upacara Senin. Darya duduk di ruang tengah yang terasa nyaman. Ruangan yang dipenuhi dengan barang-barang antik dan lukisan-lukisan indah.
Ia menyodorkan sebuah gagasan untuk dikomitmenkan oleh mereka berdua. Komitmen sebagai wujud perubahan gaya hidup hingga orang-orang bisa membedakan saat miskin dan kaya sekarang. Seperti orang-orang kaya umumnya, harta memang mendorong orang untuk mengubah perilaku kesehariannya.
Darya dan Edoh sadar itu dan dengan kesadarannya, atas harga dirinya mereka pun sepakat untuk mengakhiri gaya lama, gaya miskin yang norak. Lalu masuk pada gaya ningrat, gaya kota, gaya orang kaya umumnya.
Stop ke sawah, sering-seringlah ke salon merias wajah. Begitulah salah satu komitmennya. Edoh nurut karena itu komitmen, tanpa pedulikan apa jadinya jika hidung peseknya dioperasi silikon.
“Kita ini sudah jadi orang kaya, orang terpandang yang harus beda dengan tetangga-tetangga di luar,” kata Darya, mengepulkan asap rokonya.
“Lalu?” jawab Edoh, mengupas mangga.
“Kita harus ubah gaya hidup kita,”
“Apalagi?”
“Kamu harus panggil aku Papah,”
“Terus, kamu ke aku?
“Jelas Mamah,”
“Ok komit,” Edoh mengiyakan tanda setuju.
Satu poin komitmen kelar. Sejak itu Darya Edoh, jadi mamah papah.
“Poin kedua, kita harus meninggalkan kelakuan kita masa-masa miskin kemarin,”
“Contohnya?”
“Barang-barang yang sudah dipakai jangan digunakan lagi. Aku nggak mau, bikin gatal di badan,”
“Itu baju, kalau piring gelas dan lain-lainnya gimana?” tanya Edoh.
“Pokoknya semua barang yang sudah dipakai jangan digunakan lagi. Bakar, Buang atau kasihkan ke tetangga,”
“Ok, Mamah setuju,” kata Edoh.
Dua komitmen itu rupanya dipegang benar-benar oleh pasutri itu. Tak ada keraguan dalam dirinya. Usai mereka makan, tak canggung lagi piring dan gelas dilempar ke bak sampah yang ada di belakang rumahnya. Dalam sebulan tumpukan barang pecah belah menumpuk disana. Keduanya puas, inilah orang kaya, katanya bangga.
Tak hanya barang pecah belah, pakaian pun begitu. Selepas dipakai meski sehari itu, tak lagi dicuci lalu dijemur dan kemudian dipakai lagi. Kaos, kemeja, daster, gamis, pokoknya apa saja yang habis dipakai dibadan mereka lempar ke belakang, lalu dibakar. Tapi ada diantaranya yang diberikan kepada tetangganya yang mau. Namun, kebanyakan ditolaknya.
Praktis, hampir setiap hari pasutri ini pergi ke toko pakaian beli baju baru, termasuk perabotan rumah yang dilempar ke bak sampah. Tak jadi soal, segalanya dengan mudah mereka beli kembali. Orang kaya tak ada kesulitan.
Ngantuk pun datang pada suatu malam. Trek, tivi Darya matikan. Tapi kemudian ia membopong tivi itu dan melemparkannya ke bak sampah. Habis dipakai, katanya.
Edoh bangga karena suaminya benar-benar sosok lelaki yang memegang komitmen.
Celakanya, jadinya tiap hari Darya harus berangkat ke toko elektronik membeli tivi baru. Tapi, lagi-lagi itu bukan masalah. Dengan mudah ia telepon pelayan toko, tivi baru pun datang ke rumahnya. Si pelayan meski heran, tapi ia gembira tak perlu lagi nunggu pembeli lain, dalam sebulan puluhan tivinya lagu hanya dibeli Darya.
Sebulan saja bak sampah di belakang rumahnya dipenuhi tumpukan pecah belas, pakaian dan pesawat tivi.
Hingga suatu malam hening, dan hujan rintik-rintik sejak sore tadi, Darya sedang merayu-rayu permaisurinya. Edoh yang kini berani tampi beda. Lebih ngejreng, kulir mulus dan hidung mancung. Hampir-hampir tak dikenali Darya.
“Mah,” kata Darya yang saat itu duduk disisi Edoh.
“Ya,” Edoh melirik, tersenyum. Tangannya yang kini disesaki gelang emas asyik mengupas mangga manis dapat beli di sebuah super market.
“Rasa-rasanya, sudah lama kita tidak berlayar ke lautan cinta,”
Edoh sangat ngerti karena ia pun merasakan perasaan yang sama. Maka, tanpa ba bi bu lagi pasutri ini beranjak ke kamar mewahnya. Kamar yang jauh beda dengan kamar waktu kemiskinan masih mengacaokan hidupnya. Kamar yang wangi dan dikelilingi lampu kedap kedip.
Cukup lama mereka bertarung, hingga akhirnya selesai.
Darya sejenak duduk di bibir kasur empuknya. Tapi kemudian ia ingat komitmen yang sudah dibangun mereka berdua. Lalu, tanpa pikir panjang lagi, Darya membopong Edoh yang masih tiduran.
Krek… tubuh Edoh dalam aisan, tanpa ragu lagi dilempar Darya ke bak sampah di belakang rumahnya. Habis pakai tak usah digunakan lagi, katanya.
Edoh kaget, menjerit, tapi susah bangun karena tubuhnya tertindih tumpukan pakaian, pecah belah dan pesawat tivi. Kali itu Edoh tak lagi bangga dengan suaminya yang pengkuh memegang komitmen.***