Nanung hanya tersenyum ketika suaminya berkata tidak untuk selingkuh. Ia percaya, tapi itu dulu saat hidup masih dalam batas ketiadaan. Saat penghasilan suaminya hanya cukup untuk makan satu atau dua hari. Tapi kala itu kehangatan mengalahkan segalanya. Romantisme masih jadi irama sahdu dibalik perut menggerutu.
Namun, sekarang semuanya berubah. Saat ketiadaan itu menjadi serba ada, saat makan bisa untuk berbulan-bulan, namun kehangatan jadi dingin dan romantisme hanya ilusi belaka, Nanung tak percaya dengan kejujuran suaminya. Kata-katanya dan gestur tubuhnya menandakan suaminya diduga sedang selingkuh.
Hingga pada suatu pagi saat suaminya hendak pergi ke kantor, ketika berada di meja makan, suaminya nyaris membuang muka ketika Nanung menanyakan nama Haryati.
“Siapa dia, Mas?” tanya Nanung, masih juga melempar senyum.
“Aku bukan lelaki yang gampang jatuh cinta. Kalau mau, puluhan wanita di kantor cantik-cantik, dan rasa-rasanya mereka mau ‘tuh kalau aku pacari. Tapi, aku tidak lakukan itu, karena tidak ada niat untuk membagi cinta ke wanita lain,” jawab suaminya, usai sarapan pagi.
Lagi-lagi Nanung tersenyum. Tapi dia tidak bahagia dengan jawaban suaminya itu. Malah justru semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diri bapak dari dua anaknya itu.
“Jawaban, Mas, tidak menjawab pertanyaanku,” kata Nanung, membereskan meja makan.
“Sudahlah aku berangkat,” suaminya menuju garasi, menghidupkan sedan merahnya. Lalu, lenyap ditatap keresahan batin Nanung.
Berbulan-bulan cerita itu bertamu di rumah klaster ukuran mini di pinggir kota Bandung itu. Nanung, seorang guru PNS yang tiga tahun lagi masuk pensiun. Satu anaknya sebentar lagi lulus sarjana. Ia ngambil kedokteran. Sedangkan anak kedua, masih di SMA, gadis yang sedang beranjak dewasa. Tapi keduanya tidak tahu ada konflik di hubungan orangtuanya.
Semuanya berjalan seperti biasa dan seolah-olah tidak ada apa-apa. Maka, saat Nanung kembali mendapatkan waktu untuk berduaan dan bercerita dengan suaminya, maka msiteri itu dicoba untuk ditelusuri. Tapi, Nanung tidak mau bersikap seperti jaksa penyidik yang menanyakan detail dari isi hati suaminya. Nanung hanya mencoba melempar-lempar satu per satu pertanyaan untuk kemudian ia simpulkan di akhir.
Tapi, kata Nanung dalam hatinya, suamiku memang lelaki hebat. Ia sangat tapis menjawab dan menerangkan semua pertanyaan itu. Mulai soal bagaimana tentang kasih sayang, apa itu kesetiaan, sampai kapan cinta itu ada, lalu harus apa yang dilakukan kalau seorang suami selingkuh. Itu semua pertanyaan Nanung yang dijawab suaminya dengan gamblang dan jelas.
Nanung, tersenyum lalu hatinya berkata: “aku kagum terhadap kecerdasan suamiku”. Tapi saat satu pertanyaan terakhir Nanung lemparkan, suaminya kelagapan, bibirnya bergetar, sorot matanya redup, alisnya sedikit naik dan suara lantangnya, nyaris parau.
Pertanyaan Nanung yang terakhir itu hanya tiga kata: “Siapa nama Haryati?”
Tak ada jawaban dari bibir suaminya. Hening sejenak mereka berdua. Angin malam selimuti rumput hijau di taman rumahnya. Nanung, menatap langit, melihat bintang-bintang bertaburan. Tapi, bulan tak ada di sana, bersembunyi di balik ranting-ranting.
“Aku ngantuk,” kata suaminya, masuk rumah. Tapi Nanung tetap diam di kursi taman itu. Meski tak lama, ia pun masuk ke rumah.
Bertahun-tahun misteri itu tak terpecahkan, dan Nanung pun tak berniat mencari tahu. Seolah ia membiarkan misteri itu tetap jadi cerita di rumah sederhananya, dan nama Haryati masih tenggelam hingga jasad suaminya ditemukan di sebuah jurang bersama jenazah seorang perempuan muda.***