Sepotong roti tergolek di atas piring pisin. Tak ada yang tahu bekas siapa atau untuk siapa. Tak peduli bagi bangsa semut yang sedari tadi mengintipnya di bawa meja.
Tak harus menunggu waktu, karena baginya waktu tak berguna. Siang, sore atau malam, bangsa semut tak pernah tidur. Mereka sibuk dengan rutinitasnya mencari makan meski hanya sebutir gula.
Itu makanya ketika melihat sepotong roti bangsa semut bergegas menggelar briping. Paling tidak untuk menentukan apa yang harus dilakukan, apakah harus ramai-ramai menggotong memindahkan roti itu ke sarang atau makan disana saja biar tidak menguras tenaga.
Briping selesai, jenderal semut memutuskan untuk ramai-ramai makan disana sajah. Satu persatu naik melalui kaki meja. Hanya hitungan detik puluhan semut sudah berada di lokasi dimana sepotong roti ditemukan. Ada yang makan di pinggirnya ada pula yang naik ke atasnya. Semua terlihat lahap, menikmati sepotong roti berisi coklat.
Jenderal semut tersenyum melihat para prajuritnya sibuk dengan makanannya. Ia tak tahu entah sampai kapan mereka makan. Namun, tiba-tiba ia tersentak kaget melihat sesosok manusia menghampiri meja dan duduk di korsi berhadapan dengan prajurit semut yang sedang asyik menikmati seporotong roti.
Spontan jenderal semua berteriak agar semua prajurit menyudahi makannya dan mundur lalu turun ke bawah meja. Teriakan itu sebagai upaya antisipasi kalau-kalau manusia yang sedang duduk itu membunuhnya dengan berbagai cara. Mending kalau hanya dengan menghibasnya hingga semut terpental, terjatuh ke bawah. Itu tidak mematikan. Celakanya, kadang bangsa manusia suka jahil membunuh semut dengan cara menggebuknya hingga tewas atau menyiramkan air hingga semut kehabisan napas dan mati.
Benar saja, ketika prajurit semut sedang nikmat makan, bangsa manusia mengambil roti itu lalu dibawa ke dalam kulkas. Ia tidak membunuh tapi tindakannya itu akan membunuh prajurit semut di dalam kulkas yang dingin. Beruntung dari ratusan jumlah prajurit semut hanya puluhan yang saat ituj masih menempel di sepotong roti dan terbawa ke dalam kulkas.
Meski begitu, sang jenderal tampak berduka. Ia merasa gagal memimpin pasukan. Meski sebelumnya ia sudah memperingatkan agar prajurit menyudahi makanannya karena ada manusia. Namun, ternyata tak semua prajurit semut mendengarnya. Akibatnya, ‘ya itu tadi puluhan semut ikut kebawa ke dalam kulkas.
Meski sedih, namun sang jenderal tak berpikiran untuk melakukan upaya penyelamatan. Membiarkan prajuritnya mati karena ulah sendiri. Itu sudah menjadi semboyan hidup bangsa semut, bawah jika mati tanggung sendiri, tak usah minta tolong, dan begitulah hidup dan kehidupan.
***
Malam beranjak pagi. Lelaki bangsa manusia yang tadi malam itu duduk di kursi yang sama. Lelaki itu kurus dan lusuh. Raut wajahnya seolah sedang bingung. Ia menghisap rokoknya dengan tatapan kosong terlempar di luar kaca jendela.
Istrinya menghampiri, lalu duduk disebelahnya.
“Roti tadi malam dimana Mas?” ujarnya.
“Di kulkas,” jawab lelaki itu.
“Ku kira dimakan Mas,”
“Aku bukan lelaki jahat,”
“Lho, kok jawabannya begitu? Apa urusannya roti dengan lelaki jahat,” istrinya kerung.
“Masa aku harus memakan makanan anakku,”
‘Ya baguslah,” kali ini istrinya tersenyum. “Kau memang bapak yang baik,” imbuhnya.
Tapi, Mas, istrinya melanjutkan pembicaraan. Sampai kapan kita hidup miskin begini. Kebutuhan makin banyak, sedangkan penghasilan Mas makin kesini makin berkurang. Jangankan untuk biaya sekolah anak-anak, untuk makan sehari-hari saja susah hingga harus pinjam ke warung sana sini.
Mas harusnya mencari kerjaan sampingan untuk menambah penghasilan. Kalau, Mas masih berharap di satu kerjaan saja selamanya nggak bakalan cukup untuk membiayai hidup kita. Gajih Mas sebagai guru honorer kan sangat kecil. Harusnya Mas jadi tukang ojeg kek, dagang apa kek, pokonya harus punya penghasilan tambahan, gitu lho.
Lelaki itu hanya terdiam. Tapi suara batinnya bercerita bahwa apa yang dikatakan istrinya adalah benar. Seharusnya tidak melulu mengandalkan honor guru. Tapi mau dagang apa atau mau kerja apa. Dagang atau ngojeg. Untuk diri sendiri tidak malu, tapi bagaimana dengan martabat guru, apa tidak merasa dihinakan. Mending kalau orang-orang menganggapnya positif dan kagum, bagaimana dengan orang-orang yang malam bilang jadi guru kok dagang atau ngojeg.
Memang, bagi lelaki kurus itu jadi guru adalah sebuah profesi yang membanggakan. Ia jadi suritauladan atau panutan masyarakat. Setiap pergi atau pulang dari sekolah ketika berpapasan dengan warga, maka warga itu selalu manggut tanda hormat.
Bahkan, dalam perkara apapun ia selalu diminta saran dan pandangannya. Rapat warga tidak dimulai kalau lelaki kurus itu belum hadir. Bahkan, diminta untuk memimpin sekaligus memutuskan persoalan yang sedang dihadapi warga saat itu.
Padahal, mereka tahu lelaki kurus itu tak sekaya haji Burhan, Haji Hasan dan lainnya. Boleh jadi masyarakat bukan melihat hartanya, tapi kecerdasannya yang dimiliki oleh lelaki kurus itu sebagai guru, meski honorer.
Anak kecil menghampiri menanyakan sepotong roti. Dituduhkan ada di kulkas. Anak itupun bergegas mengambilnya lalu duduk di sebelah ibunya. Tapi, ia tak memakan roti itu dan ibunya heran kenapa begitu. Anak itu hanya menatap roti yang ia pegang, lalu menangis kecil. Matanya tajam menatap roti itu, dan ibunya makin heran, penasaran.
“Kenapa tak kau makan roti itu. Kamu kan harus sarapan sebelumnya berangkat sekolah. Udah ibu bilang pagi ini nggak ada nasi, sarapannya ya roti yang sisa tadi malam saja,” kata ibunya.
“Ini banyak bangkai semut, Bu, aku nggak tega memakannya, lagi pula pasti sudah tak enak rasanya,” jawab anak itu. Ibunya hanya geleng-geleng kepala. Lagi-lagi heran kenapa disimpan di kulkas masih ada semut.
Puluhan prajurit semut mendengar perkataan anak manusia yang tak mau lagi makan roti itu. Mereka bersorak gembira. Namun, bukan bahagia karena mendengar jenazah temannya ditemukan dan masih menempel di sepotong roti itu, namun karena mereka meyakini roti itu akan dibuang dan tentu mereka bisa makan enak lagi.
Benar saja, roti itu dibuang ke halaman, sehingga prajurit semut segera memanggil sang jenderal lalu sang jenderal memerintahkan kepada prajurit yang lain untuk menyerbu sepotong roti itu sebagai sarapan pagi. Tapi, apa yang mereka lihat, sepotong roti itu sedang dikelilingi anak-anak ayam yang tampak lahap menikmati roti berisi coklat itu.
Namun, sang jenderal berujar: “lupakan roti itu karena sudah milik bangsa lain. Jangan kecewa, masih ada harapan nanti siang. Rejeki selalu datang di setiap jatung berdetak,” ujarnya seraya beranjak meninggalkan tempat itu untuk mencari kemana angin bertiup.***