DARA | BANDUNG – Pagelaran opera kolosal Ciung Wanara, sukses. Ratusan penonton memenuhi gedung teater tertutup Taman Budaya, Bandung, Rabu (31/7/2019).
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil didampingi Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Dedi Taufik hadir di sana. Dalam sambutannya, Ridwan Kamil mengatakan, pagelaran ini sangat penting untuk melestarikan budaya Sunda.
Emil mengajak masyarakat agar lebih bangga terhadap seni tradisional Sunda. “Menyenangi budaya bangsa lain boleh, tapi jangan meninggalkan budaya tradisional bangsa sendiri,” ujar Emil.
Kadisbudpar Jabar, Dedi Taufik mengatakan, tujuan digelarnya opera kolosal Ciung Wanara ini untuk meningkatkan peran taman budaya sebagai ruang ekspresi seni bagi para seniman dan budayawan, melestarikan dan memajukan seni daerah Jawa Barat. Juga, memberikan motivasi kepada para seniman kreatif agar terus berkarya.
“Tak kalah penting, lebih mengenalkan taman budaya sebagai salah satu destinasi wisata seni budaya di Jawa Barat,” ujarnya.
Operasi Ciung Wanara berlangsung 1,5 jam. Para penonton terpesona, tak hanya kagum atas jalan ceritanya, tapi juga terhadap setingan panggung, lighting, serta aransemen musik yang memadukan seni musik modern dengan seni musik tradisi.
Sang sutradara yang juga penulis cerita, Bambang Aryana Sambas benar-benar mampu mengajak emosi penonton tarlibat dalam kisah Ciung Wanara ini.
Alkisah, Kerajaan Galuh dipimpin seorang Raja nan bijaksana bernama Raden Barma Wijaya Kusuma. Ia memiliki dua permaisuri yaitu Nyimas Dewi Naganingrum dan Nyimas Dewi Pangrenyep. Suatu saat keduanya mengandung.
Tiba pada waktunya, Permaisuri Nyimas Dewi Pangrenyep, istri kedua Sang Raja, melahirkan bayi Laki-laki yang sangat lucu dan tampan. Lalu diberi nama Hariangbanga. Lantas, Permaisuri Dewi Naganingrum pun melahirkan. Dewi Pangrenyep membantunya hingga Dewi Naganingrum melahirkan seorang bayi laki-laki yang tidak kalah lucu dan tampan dari kakaknya Hariangbanga.
Namun, di balik kesediaannya menolong persalinan Dewi Naganingrum, ternyata Dewi Pangrenyep berniat jahat yaitu ingin anaknya kelak mengusai tahta kerajaan. Ia pun melancarkan niat jahatnya itu.
Bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan Dewi Naganingrum ditukar dengan seekor anak Anjing. Sedangkan bayi yang dilahirkan dari rahim Dewi Naganingrum dimasukkan ke dalam sebuah keranjang. Dewi Pangrenyep pun meletakkan sebutir telur ayam. Ia pun segera menghayutkan bayi tersebut ke sebuah sungai.
Selanjutnya seisi kerajaan gempar dengan kabar bahwa Dewi Naganingrum melahirkan seorang bayi anjing. Kabar itupun membuat raja Barma Wijaya marah besar. Lalu ia memerintahkan Ki Lengser untuk membunuh Dewi Naganingrum dan mayatnya di buang jauh-jauh.
Namun, Ki Lengser tidak menggubris titah sang raja. Ia malah menyembungikan Dewi Naganingrum di dalam sebuah hutan. Dewi Naganingrum ditempatkan di sebuah gubug. Lalu, Ki Lengser kembali ke istana.
Alangkah sedihnya Naganingrum. Ia sangat berharap bertemu dengan Putra kandungnya.
Di suatu tempat hiduplah sepasang suami istri yang sudah sangat tua, yaitu Aki Balangantrang dan Nini Balangantrang. Namun, mereka tidak memiliki anak. Suatu hari, mereka berdua pergi ke sebuah sungai untuk menangkap Ikan. Namun, mereka terkejut melihat sebuah keranjang besar berisi seorang bayi laki-laki yang sangat lucu dan tampan dan sebutir telur. Mereka sangat bahagia dan mereka berpikir bahwa inilah sebuah jawaban dari doanya ingin memiliki anak.
Sebutir telur ayam yang berada di samping bayi laki-laki itu dititipkan kepada seekor Naga yang bernama Nagawiru yang berada di Gunung Padang. Naga tersebut bukanlah Naga sembarangan. Namun, jelmaan seorang Dewa. Telur ayam itu kelak menjadi seekor ayam jantan.
Singkat cerita, bayi laki-laki tumbuh menjadi remaja yang sangat tampan, cerdas, gagah dan pemberani. Ia diberi nama oleh Aki Balangantrang Ciung Wanara. Ciung artinya burung dan wanara artinya monyet.
Ciung Wanara tumbuh menjadi seorang Pemuda yang sangat tampan. Suatu hari, ia ingin sekali pergi ke Galuh untuk mengembara. Sebelum berangkat ia bertanya siapa ayah dan ibu kandungnya. Aki Balangantrang menjelaskan bahwa ayah kandungnya adalah seorang Raja dari Kerajaan Galuh dan ibunya diasingkan di hutan belantara.
Mendengar penjelasan itu akhirnya, Ciung Wanara berangkat ke Kerajaan Galuh dengan membawa ayam jantan kesayangannya.
Setibanya di kerajaan Galuh bertemu dengan dua orang patih yang bernama Purawesi dan Puragading. Kedua patih tersebut tertarik dengan ayam jantan yang dibawa Ciung Wanara, lalu mengajaknya sabung ayam. Ciung Wanara menerima tantangan dari kedua Patih tersebut. Pertandingan sambung ayam dilakukan di tengah alun-alun Kota Galuh. Akhirnya, yam jantan Ciung Wanara menang.
Kemenangan ayam Ciung Wanara terdengar oleh Sang Raja, hingga akhirnya Ciung Wanara diundang ke istana.
“Hai Anak Muda! Siapa namamu dan dari mana asalmu?”
“Nama hamba Ciung Wanara, putra dari Aki dan Nini Balangantrang dari desa Geger Sunten,” jawab Ciung Wanara dengan lantang.
“Apa maksud kedatanganmu kemari?”
“Hamba mempunyai seekor ayam yang aneh. Induknya mengandung selama setahun. Sarangnya sebuah kandaga. Lebih aneh lagi, sebelum menetas telur ini pernah hanyut di sungai,” kata Ciung Wanara.
“Kau berniat untuk menyambung ayam dengan milikku? Apa taruhannya?” tanya Raja Galuh.
“Jika ayam hamba kalah, hamba bersedia menyerahkan nyawa hamba. Tapi, jika ayam baginda yang kalah, maka hamba mohon diberi separuh kerajaan Galih Pakuan,” kata Ciung Wanara.
Permintaan itu dikabulkan. Sabung ayam pun berlangsung seru. Awalnya, ayam jantan milik Ciung Wanara yang kalah. Namun, akhirnya ayam milik sang Raja kalah. Ciung Wanara memenangkan sabung ayam dan sesuai perjanjian, maka Ciung Wanara mendapat negara sebelah barat. Sedangkan sebelah timur diserahkan kepada Hariangbanga.
Setelah tahu kekejaman Dewi Pangrenyep terhadap ibunda dan dirinya, Ciung Wanara dan pasukannya menangkap Dewi Pangrenyep dan menjebloskannya ke dalam penjara istana. Hal itu membuat marah Prabu Hariangbanga. Maka pertarungan pun terjadi. Prabu Hariangbanga kalah dan dilempar oleh Ciung Wanara hingga menyeberangi sungai Cipamali. Sejak itulah Kerajaan Galuh terbagi dua.
Akhirnya, Ciung Wanara, Ibunya, dan orang tua angkatnya hidup berbahagia di dalam istananya yang kemudian bernama Pakuan Pajajaran.***
Editor: denkur