Salah seorang petinggi Sunda Empire, Raden Rangga Sasana menilai kemunculan Sunda Empire hanya masalah pemahaman ilmu sejarah. Dia menganggap, penanganan kasus ini lebih baik diselesaikan secara dialog.
DARA | BANDUNG – Begitu diutarakan terdakwa Raden Rangga Sasana dalam eksepsi atau nota keberatan yang disampaikan kuasa hukumnya pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Selasa (30/6/2020).
“Tidak dipungkiri kasus ini berawal dari klaim sejarah versi Sunda Empire. Mereka (Sunda Empire) dituduh menyebarkan berita bohong karena dianggap memanipulasi sejarah dan memutarbalikkan fakta. Tuduhan ini didukung pula dengan hasil pemeriksaan terhadap ahli sejarah, akademisi, budayawan, dan saksi-saksi lainnya yang memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan klaim Sunda Empire,” tutur Misbahul Huda, salah seorang kuasa hukum terdakwa.
Dalam perkara ini, tiga orang harus berhadapan dengan meja hijau, yakni Perdana Menteri Sunda Empire Nasri Banks, permaisuri Sunda Empire Raden Ratna Ningrum, Raden Rangga selaku Sekretaris Jenderal Sunda Empire.
Dalam eksepsinya, Huda menuturkan, perbedaan pemahaman jelas terlihat saat aparatur penegak hukum menganggap versi yang mereka klaim benar, dan itu menjadi problematika dalam proses pengusutan hingga penyidikan.
“Disisi lain, kasus yang berawal dari klaim sejarah ini masuk pada domain ilmu sejarah yang merupakan salah satu ilmu sosial yang potensi ketidakpastiannya lebih besar dari pada ilmu hukum. Dalam kajian sejarah, cukup banyak peristiwa yang memiliki versi sejarah yang saling berbeda satu sama lain dan itu adalah hal yang lumrah,” ujarnya.
Maka dari itu, sambung Huda, proses pendekatan atas kasus Sunda Empire ini tak bisa dilakukan secara represif atau melalui pemidanaan. Seharusnya, lanjutnya, pendekatan lebih kepada dialog musyawarah maupun debat akademis.
“Disitulah baik para pegiat Sunda Empire maupun tokoh atau akademisi bisa saling beragumentasi mengenai klaim sejarahnya masing-masing berdasarkan bukti-bukti yang ada,” ujarnya.
Bila dalam hal ini Sunda Empire tidak bisa membuktikan kebenarannya, konsekuensi dari kesalahannya pun bukan dengan pemidanaan melainkan dengan pembinaan dan pemahaman sejarah yang telah terbukti kebenarannya.
“Dengan demikian, prinsip restoratif justice yang saat ini terus diupayakan dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia dapat terpenuhi,” cetus Huda.
Dalam persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum mendakwa ketiganya telah menyebarkan berita bohong hingga menimbulkan keonaran. Ketiganya dijerat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 14 ayat (2) UU No 1 Tahun 1946 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.***
Wartawan: Avila Dwiputra | Editor: denkur