Virus Sars-Cov2 yang menyebabkan pandemi COVID-19 akan terus bermunculan selama penularan kasus masih terjadi di tengah-tengah masyarakat.
DARA – Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito menegaskan hal ini terbukti dengan hadirnya varian terbaru, Omicron atau B.1.1.529.
Varian yang pertama kali ditemukan di benua Afrika ini telah ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagian varian yang menjadi perhatian atau variant of concern (VOC). Penyebarannya telah meluas hingga 57 negara.
Sebelumnya, ditemukan berbagai varian COVID-19 seperti Alfa, Beta, Gamma, MU serta Delta yang dominan menyebabkan lonjakan kasus di beberapa negara.
Jika melihat fenomena tersebut, Wiku menekankan bahwa terdapat poin-poin penting yang menjadi pembelajaran dalam melakukan penanganan COVID-19 di Indonesia.
“Pembelajaran ini dapat digunakan dalam menghadapi dinamika COVID-19 saat ini dan dimasa yang akan datang,” Wiku dalam Keterangan Pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB, Kamis (9/12/2021) yang juga disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Pembelajaran pertama adanya rentang waktu dalam mengidentifikasi karakteristik varian baru. Identifikasi perubahan genetik atau mutasi virus merupakan hal yang mudah dan cepat untuk dilakukan di laboratorium.
Namun tidak semua perubahan genetik ini mengubah karakteristik virus. Terutama yang dapat memperburuk seperti lebih menular, bergejala lebih parah dan efektivitas vaksin. Dan varian Omicron masih perlu dipelajari dengan memperbanyak studi dan memperluas subjek penelitian.
Dunia termasuk WHO juga terus belajar dari dinamika varian COVID-19. Merujuk pada kemunculan varian Delta, ditemukan di India pada Oktober 2020, pertama kali dideteksi di Indonesia pada Januari 2021 dan menjadi penyebab lonjakan kasus di berbagai negara.
Saat itu, WHO butuh waktu 1 bulan meningkatkan status varian tersebut, dari varian yang menjadi perhatian atau variant of Interest (VOI) pada 4 April 2021, menjadi varian yang menjadi perhatian atau VOC pada 11 Mei 2021.
“Belajar dari itu, pada kemunculan Omicron, WHO mengambil langkah antisipatif yang cepat dalam waktu 2 hari, dengan merubah status varian under monitoring (VUM) Omicron menjadi VOC,” lanjut Wiku, seperti dikutip dari laman resmi Satgascovid, Jumat (10/12/2021).
Pembelajaran kedua, langkah antisipatif dan preventif dalam penanganan varian baru. Setidaknya ada 3 strategi preventif krusial mencegah importasi kasus. Yaitu kebijakan pada pintu masuk perjalanan internasional, kebijakan pengendalian mobilitas dan kebijakan protokol kesehatan.
Kebijakan pada pintu masuk perjalanan internasional mencakup pembatasan sementara asal pelaku perjalanan, karantina, hingga entry dan exit test.
Selama ini pertimbangan kebijakan ini didasarkan pada hasil studi ilmiah dengan berbagai penyesuaian. Sebagai contoh, kebijakan karantina bertujuan untuk mengamati seseorang selama masa inkubasi. Hasil studi meta analisis dan berbagai rekomendasi organisasi kesehatan menetapkan masa inkubasi COVID-19 adalah 14 hari.
WHO dalam rekomendasinya, menyarankan durasi ini perlu disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Selama ini penyesuaian durasi didasarkan pada modeling matematika. Untuk melihat besaran peluang lolosnya orang positif apabila durasi karantinanya dipersingkat, ditambah entry dan exit test.
Sebagai contoh dari publikasi Escroft (2021) menyimpulkan, karantina selama 8 – 10 hari dengan testing dapat mencegah lebih dari 90% transmisi lokal. Contoh lainnha publikasi Wells (2020) menyebut probabilitas lolosnya orang positif sebesar 0,0025 jika karantina 8 -14 dilengkapi testing.
“Kedepannya, Indonesia perlu untuk mencatat dan menganalisis data-data individual riil di lapangan. Agar dapat menjadi landasan kebijakan yang lebih optimal mencegah importasi kasus,” lanjut Wiku.
Lalu, pada pengendalian mobilitas dan kebijakan kesehatan. Kedua hal ini apabila tidak dikendalikan dengan baik bisa mendukung virus untuk terus menular dalam masyarakat dan dapat semakin memperluas keberadaan varian dan menjadi lonjakan kasus.
Pembelajaran ketiga, ialah pendekatan global dalam penanganan pandemi. Karena, meskipun pandemi terjadi di seluruh dunia, nyatanya hingga saat ini belum semua negara memiliki akses yang sama terhadap vaksin, obat dan alat kesehatan. Sebagai contoh kesetaraan akses vaksin.
Berbagai literatur termasuk publikasi Nisen dkk (2022) menyatakan terdapat lebih banyak variasi varian COVID-19 pada kelompok-kelompok yang belum divaksin. Sayangnya, tidak semua negara memiliki akses yang setara terhadap vaksin. Padahal, varian baru dapat berdampak luas tanpa memandang batas negara. “Sehingga disimpulkan, vaksin dapat mencegah terbentuknya varian baru,” imbuh Wiku.
Untuk itu, dengan kondisi kasus Indonesia yang terkendali,dapat menjadi bumerang apabila lengah dan abai terhadap pembelajaran dari dinamika COVID-19 yang telah diuraikan sebelumnya. Dan perlu dicermati bahwa beberapa wilayah di Indonesia telah menunjukkan perkembangan kasus yang tidak cukup baik.
Penting diingat, bahwa upaya kuratif sangat mahal dan berisiko menimbulkan fatalitas. Karenanya Indonesia dan dunia harus konsisten mengedepankan upaya upaya preventif dalam pengendalian pandemi khususnya kedisiplinan protokol kesehatan, pengendalian mobilitas serta kesetaraan akses vaksin.
“Munculnya Omicron seyogyanya hanya menjadi pengingat bahwa pandemi merupakan tantangan Global. Tantangan yang tidak akan selesai apabila hanya beberapa negara saja yang berhasil mengendalikan kasus,” pungkas Wiku.
Editor: denkur