Waktu saya jadi wartawan Surat Kabar Mingguan Galura, 1987 – 1997, Aan Merdeka Permana (AMP) berujar bahwa Sastra Sunda Sombong jeung Cedihan.
Pengarang novel Senja Jatuh di Pajajaran itu mengisyaratkan betapa sulit bagi khususnya pengarang pemula mendapatkan apresiasi dari para sastrawan Sunda saat itu.
Saya sepakat dengan pendapat AMP. Bahkan, bagi saya, bukan hanya Sastra Sunda. Sastra Indonesia pun sombong. Artinya, pada jaman pra-internet, tak mudah bagi pemula mendapatkan penghargaan dari para
sastrawan.
Sebelum karangan atau karya sastra mendapatkan pengakuan dari para petinggi sastra, ia harus berhasil membobol gawang sang redaktur kebudayaan. Dialah penguasa yang menentukan sebuah karya itu layak atau tidak layak untuk dimuat dalam media cetak.
Tentu saja, redaktur kebudayaan adalah orang yang dianggap mumpuni dalam kesusastraan. Dia memahami kaidah-kaidah seni sastra. Bahkan, bisa jadi dia sendiri seorang sastrawan terkenal, sebab itu tak mudah meluruhkan kesombongannya.
Dengan keangkuhannya, dia bisa merobek ribuan naskah (karya sastra) serta membuangnya ke tong sampah.
Dengan kata lain, penerbitan karya sastra di jaman kejayaan media cetak adalah sebuah proses panjang nan ketat.
Seiring perubahan jaman, kini kesombongan itu lenyap digerus digitalisasi. Keangkuhan Sastra Indonesia rubuh diterjang tren siber sastra. Tangan besi sang redaktur kebudayaan lumpuh dipatahkan teknologi online.
Kini, siapa pun bisa menerbitkan karya sastranya di dunia maya. Tanpa seleksi ketat, sistem online memungkinkan orang menerbitkan banyak karya setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik, oleh tangannya sendiri, sesuai perintah hatinya sendiri.
Dengan ponsel cerdasnya, si sastrawan muda bisa meng-upload karyanya di medsos atau blog pribadinya kapan saja dan di mana saja yang penting ada sinyal.
Sastrawan masa kini dapat merasakan kebebasan berkarya. Kebebasan yang diidamkan para seniman dari berbagai jaman.
Inilah momen penuh sukacita. Setidaknya bagi saya–dan bisa jadi AMP– yang sempat berduka atas kesombongan Sastra (Sunda) Indonesia.
Apakah sastra digital lebih bagus dari sastra cetak? Atau sebaliknya? Hanya Sang Waktu yang dapat menilainya. Penentuan bagus atau jeleknya suatu karya tergantung sudut pandang orang yang menilainya, tergantung siapa yang menilainya, juga tergantung orang dari jaman apa yang menilainya.
Satu hal pasti, banyak sastrawan dari masa silam yang menikmati indahnya dunia maya. Sebut saja Godi Suwarna, Tatang Sumarsono, dan Diro Aritonang. Mereka rajin meng-upload karyanya di Facebook.
Bisa jadi, semangat berkarya di media online itu dipicu oleh bergugurannya rubrik sastra di media cetak. Inilah hukum karma bagi kesombongan Sastra (Sunda) Indonesia.***
Rakhmat Margajaya telah menulis lebih dari 20 buku cerita budi pekerti untuk anak-anak, tinggal di
Sanggar Indah Banjaran Kabupaten Bandung.