DARA | JAKARTA – Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 sudah ditetapkan Presiden, Joko Widodo, Sabtu (18/5/2019).
Berikut nama-nama Pansel tersebut:
Ketua merangkap anggota:
Dr. Yenti Ganarsih, S.H., M.H.
Wakil ketua merangkap anggota:
Prof. Dr. Indriyanto Senoadji, S.H., M.H.
Anggota:
1. Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo
2. Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum.
3. Prof. Dr. Hamdi Moeloek
4. Dr. Diani Sadia Wati, S.H., LL.M.
5. Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.
6. Hendardi, S.H.
7. Al Araf, S.H., M.T.
Namun, Pansel itu ditolak Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi. Alasannya, sembilan anggota Pansel itu dinilai sebagai pilihan kompromistis kepentingan elite belaka.
Untuk diketahui Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, MCW, KRPK, SAHDAR Medan, GAK Lintas Perguruan Tinggi, Banten Bersih, dan MaTA Aceh.
Melalui keterangan pers-nya, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengatakan, koalisi menolak komposisi Pansel Capim KPK karena adanya catatan serius terhadap beberapa nama pansel, yaitu tidak sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi dan penguatan KPK, sehingga akan mempengaruhi kualitas Capim KPK yang akan dipilih kemudian.
Dikutip dati detikcom, komposisi Pansel Capim KPK dinilainya punya masalah yang serius. Kata mereka, ada nuansa bahwa Presiden Jokowi yang menetapkan Pansel itu lebih mempertimbangkan harmoni dan kompromi kepentingan elite dalam lingkaran terdekatnya daripada mengutamakan pemberantasan korupsi secara sungguh-sungguh.
Seharusnya, Jokowi mengevaluasi terlebih dahulu calon nama yang hendak masuk Pansel sebelum ditetapkan sebagai anggota Pansel. Rekam jejak mereka perlu disoroti secara cermat sebelum ditetapkan menjadi anggota Pansel. Koalisi tidak ingin masalah internal KPK terjadi kembali karena ketidaksempurnaan di awal saat menentukan Pansel.
“Sementara beberapa nama Pansel juga memiliki kedekatan dengan Mabes Polri yang memicu kecurigaan adanya kehendak untuk mempertahankan kontrol elit Kepolisian atas KPK. Padahal KPK dibentuk untuk menjalankan fungsi triger bagi penegak hukum lainnya. Dikhawatirkan, kepentingan ini dapat menganggu independensi KPK dalam memberantas korupsi,” kritik Koalisi.
Maka Koalisi berpendapat, pertama, Presiden Jokowi tak memiliki imajinasi besar dalam agenda pemberantasan korupsi. Melihat Pansel Capim KPK yang ditetapkan Jokowi, Koalisi pesimistis Indonesia mampu meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI).
“Kedua, Presiden Jokowi mendua dalam sikapnya untuk lebih all out pada periode kedua kepemimpinannya. Meskipun publik masih harus menunggu hasil final rekapitulasi KPU, kemungkinan besar Jokowi terpilih kembali sebagai Presiden. Semestinya momentum ini dimanfaatkan Presiden untuk dapat meminggirkan berbagai desakan dan kepentingan segelintir elit, karena sikap akomodatif atas hal ini justru dapat mengancam agenda pemberantasan korupsi,” tutur Koalis.
“Ketiga, Pesiden Jokowi gagal memastikan kepada tim di Istana untuk mempertimbangkan dengan serius rekam jejak seseorang sebelum ditetapkan sebagai anggota Pansel. Jika beberapa anggota Pansel memiliki kedekatan khusus dengan berbagai pihak yang selama ini berseberangan dengan KPK, atau memiliki cacat etis, tentu mereka semestinya tidak dipaksakan masuk sebagai anggota Pansel,” urai Koalisi.
Poin keempat, mereka menagaskan penolakannya terhadap Pansel Capim KPK.***
Editor: denkur
Bahan: detikcom, Sabtu (18/5/2019)