Catatan Kunjungan Menteri Luar Negeri Malaysia Dato’ Saifuddin Abdullah dan Diskusi “Memperkuat Peran Politik Luar Negeri Asean dalam Menghadapi Tantangan Global”, (18/10-2021).
DARA – Hubungan bilateral Indonesia-Malaysia memiliki peran yang penting dalam usaha memperkuat Asean. Demikian disampaikan Menteri Luar Negeri Malaysia YB Dato’ Saifuddin Abdulah dalam diskusi bertajuk: “Memperkuat Peran Politik Luar Negeri Asean dalam Menghadapi Tantangan Global”, di Universitas Paramadina (18/20/2021).
Dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Paramadina bekerjasama dengan Institut Darul Ehsan–Malaysia dan KedaiKOPI itu, Dato’ Saifuddin menyatakan Malaysia-Indonesia memiliki bersama persamaan.
Menlu Malaysia ini juga menyatakan dari segi political security arrangement Asean tidak ditemui masalah berat. “Kemalangan jiwa, peperangan antara satu wilayah dengan wilayah lain bisa kita elakkan sejak Asean dikukuhkan,” katanya, seperti dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Selasa (19/10/2021).
Asean centrality dan asean consensus juga berhasil mempertahankan kawasan ini khususnya laut Cina Selatan dari ancaman yang besar.
“Traditional security treat dari luar khususnya dari cina yang paling dekat dengan kita. Walaupun kita tahu kita ada case-case dimana china coast goard boat itu datang ke perairan kita,” ujarnya.
Terbaru tentang AUKUS, Australia ingin membuat kapal selam bertenaga nuklir, hingga Menlu Australia menghubunginya. “Saya beritahu secara jenaka its not make different to Malaysian, it still nuclear,” jawab Dato’ Saifuddin.
Mengenai non traditional threat seperti drug, human traficking Dato’ Saifuffin menyatakan mungkin ada isu besar di sana sini. “Yang terbaru cyber security threat, yang ini saya fikir ASEAN harus ambil peranan ini ancaman political security yang terbaru,” katanya.
Dari segi ekonomi, negara Asean belum mengoptimumkan kehadiran penduduknya yang sebanyak 650juta itu. “Our intra asean trade is still very low, 25% of our whole trade. Yang ini kita jauh dibanding EU mereka jauh didepan.”
Ia juga menyinggung bidang baru yang bisa dioptimalkan negara-negara ASEAN dengan cepat sebab dianggap bisa leverage dan menjadi playing ground young people, yakni digital economy.
Ia menggaris bawahi tentang pilar sosial budaya. “Kalau Huntington mengatakan the clash of civilization tapi kita di ASEAN melihat kawasan kita sebagai wilayah untuk dialog peradaban. Ini berlawanan dengan thesis Huntington itu,” katanya.
Dalam ketiga pilar Asean sebenarnya Malaysia-Indonesia ini bisa memainkan peran yang lebih besar.
Menlu Malaysia ini juga menyatakan Malaysia-Indonesia yang bersuara lantang dengan pendirian tegas bahwa untuk sidang puncak Asean tugas-tugas utusan khas pengungsi Asean agar melaksanakan 5 point consensus tentang Myanmar.
“Kalau tidak ada kemajuan yang jelas maka ini 2 negara paling awal mengatakan jangan diundang senior general itu ke ASEAN Summit. Dua pemimpin ASEAN, Presiden Indonesia membuat panggilan telepon kepada Sultan Brunei, dan Perdana Menteri Malaysia mengirim surat kepada Sutan Brunei dengan pendirian yang sama,” katanya.
Dalam sambutannya Rektor Universitas Paramadina Prof Dr Didik J. Rachbini menyatakan, Malaysia sudah lepas dari middle income trap.
Menurut Didik hal ini bisa menjadi kekuatan dalam ekonomi dan politik. “Menurut Wapres budiono, profesor dalam bidang ekonomi, demokrasi akan stabil ketika pendapatan diatas 6 ribu dan Malaysia sudah melewati itu.”
“Saya menyatakan selamat kepada Malaysia, dengan footbal politik yang cantik menghasilkan pemimpin muda seperti Dato’ Saifuddin,” katanya.
Rektor Universitas Paramadina ini menyatakan bahwa di tangan pemimpin-pemimpin muda inilah Asean ini akan terbentuk nantinya, dan menjadi kekuatan baru yang nanti bisa menandingi Eropa.
“Karena Indonesia ini 15 besar ekonomi dunia dan dalam waktu dekat akan menjadi 10 besar karena size penduduknya juga besar, ditambah ASEAN makin besar ini akan menentukan dunia selain kekuatan besar China dan Amerika,” katanya.
Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Dr Tatok D Sudiarto menyatakan Indonesia-Malaysia memiliki asset similarity, sharing geographical, cultural, social, environment, disaster and climate change.
Menurut Tatok di tingkat regional kita ingin strengthening Asean membership Asean Centrality, yaitu bagaimana mengembalikan lagi marwah Asean menjadi suatu kekuatan regional yang baik.
“Dulu orang melihat EU sebagai role model yang sangat bagus, tapi ternyata dengan Brexit kita bertanya ada sesuatu disana yang harus kita cermati,” katanya.
Ia juga menyinggung kontribusi aktif terhadap agenda global SDGs. “Agenda ini menjadi suatu tuntutan bahwa leader di Asean menjadi pioner dan leader yang kuat untuk berkontribusi langsung terhadap SDGs”.
Tatok juga menyatakan perlunya propose framework post pandemic. ”Asean safetynet during post pandemic dengan matinya ribuan micro small entrepreises di banyak negara dan ketergantungan supply negara UMKM terhadap negara besar China dan lainnya,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama Dr Hendri Satrio menyatakan bahwa politik Malaysia dan politik Indonesia kalau ditarik garis lurus memiliki kesamaan.
“Dari reformasi yang dilakukan kita sama-sama paham bahwa rupanya partai politik besar tidak mudah dikecilkan. Di Indonesia ada Golkar di Malaysia ada UMNO, keduanya masih eksis dan masih membuat partisipasi positif untuk negara,” katanya.
Hendri juga menyinggung reformasi 1998, yang sampai hari ini masih menghadapi tantangan. “Beberapa hal yang kita gariskan sebagai semangat reformasi seperti batasan presiden itu hanya 2 periode mulai muncul berbagai isu dan opini tentang penambahan masa jabatan presiden jadi 3 periode,” katanya.
Menyinggung supremasi sipil, TNI dan Polri waktu reformasi di batasi. “Tapi ini Indonesia akan memiliki masa pejabat/Plt terlama di dunia, 1 tahun sampai 2 tahun karena gubernur dan kepala daerah selesai di 2022. Ada Pemilu lagi di 2024, maka ada jeda 1-2 tahun untuk masa transisi, nah ini ada ide opini akan diisi TNI/Polri.”
Hendri juga menyinggung tentang fenomena muslim demokrat. “Di Indonesia muslim demokrat juga ada banyak, yang opini serta pemikirannya terbuka secara politik dan toleran, dan menurut saya kita bisa belajar dari apa yang terjadi dari Malaysia beberapa tahun belakangan ini.”
Hendri juga menyatakan harapannya bahwa perpolitikan di Indonesia menuju dewasa seperti di Malaysia.***
Editor: denkur