Sejak ditandanganinya CAFTA maka masuknya produk-produk Cina ke Indonesia terjadi secara masif. Fenomena baru ekonomi Indonesia dibanjiri produk China secara masif tanpa proteksi memadai.
DARA – Demikian disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Prof Dr Didik J Rachbini dalam diskusi publik yang digelar Paramadina Public Policy Institute (PPPI) secara daring: “Dampak Investasi China untuk Indonesia: Produktif atau Korosif?”, Selasa (2/11/2021).
Didik mengatakan, dibanding dengan China, hubungan ekonomi Indonesia dengan Jepang sangat berbeda.
“Memang lebih rumit karena mereka teliti sehingga negosiasi investasi dan kerjasama lebih lama, tetapi setelah berjalan menjadi mudah dan lancar. Dengan China kerjasama ekonomi bisa terjadi dengan mudah, tetapi ketika berjalan banyak masalah dan bahkan sulit untuk keluar,” katanya.
Didik menyatakan hasil hubungan ekonomi Indonesia dan Cina adalah perdagangan dengan defisit besar dan perekonomian Indonesia begitu berat.
“Hubungan perekonomian yang terjadi berhubungan dengan ekonomi-politik yang mempunyai dampak menggerus politik bebas aktif Indonesia. Bahkan Indonesia seolah telah menjadi subordinasi China. Kapal China yang masuk perairan Indonesia dihalau dengan sekenanya saja,” kata Didik.
Masih menurut Didik, kecenderungan politik ekonomi yang miring ke China menjadi pertanyaan besar.
“Singapura saja telah mengkaji pengaruh kekuatan dua kutub ekonomi antara China dan Amerika Serikat yang hasilnya lebih terpelihara dan safe hubungan dengan Amerika Serikat yang dominan ketimbang dengan China,” ujarnya.
M Faisal Direktur Eksekutif CORE Indonesia menyatakan, defisit perdagangan China-Indonesia semakin lebar dalam tujuh tahun terakhir, dimana pertumbuhan impor Indonesia dari China jauh melebihi pertumbuhan ekspor Indonesia ke China.
Peningkatan drastis investasi China terjadi sejak tahun 2016 dengan lonjakan investasi menjadi 4,8 Miliar USD atau terbesar kedua setelah Singapura. Hubungan ekonomi menjadi lebih masif sejak adanya progam Belt and Road Initiative (BRI) China tahun 2013, dimana Indonesia masuk sejak tahun 2015.
“Diantaranya adalah proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung kerjasama China Railways International co.Ltd. dan PT Pilar Sinergo BUMN. Namun kemudian cost menjadi bengkak dari 86,5 triliun menjadi Rp114,24 triliun. Pemerintah menyuntik dana segar 286,7 juta USD (Rp4 triliun pada APBN 2022) untuk menanggung pembengkakan biaya, “ katanya.
M Faisal juga menyatakan perlunya Indonesia mengkritisi kembali kerjasama investasi dengan China karena dari segi tataniaga terdapat indikasi kerugian yang ditanggung negara dari sisi penerimaan pajak dan non pajak/royalty.
Faisal Basri, Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan, dalam ranking dunia negara tujuan investasi, Indonesia berada pada urutan ke 26 dari seluruh investasi China di seluruh dunia (data economist intelligent unit).
“Nomor 1 FDI adalah di Singapura, dari negara tersebut pada 2016 perusahaan-perusahaan China secara drastis menanamkan investasi di Indonesia ketika semua fasilitas dan kemudahan diberikan,“ katanya.
Faisal menyatakan perlunya mengevaluasi kembali ihwal pekerja dari China yang selalu dibawa oleh investor China tanpa memperhatikan kepentingan banyak warga lokal Indonesia yang membutuhkan pekerjaan.
“Indonesia harus menegosiasi ulang soal pekerja dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional rakyat Indonesia. Amat berbahaya jika suatu negara dikuasai secara total oleh oligarki, bahkan dikabarkan perusahaan China di luar negeri sampai mendesign kudeta suatu negara bekerjasama dengan aktor-aktor lokal,” kata Faisal.
“Meskipun demikian sebenarnya China akan patuh jika suatu negara menegakkan rule of law secara konsisten. Karenanya amat disayangkan jika Indonesia malah mengumbar segala fasilitas kepada investor luar negeri dengan tidak proporsional,” katanya.
Menanggapi tentang proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, Faisal menyatakan “Yang diragukan bukan kualitas Kereta Api China, tetapi soal kualitas investasi sekarang, apakah tetap kondusif ataukah telah menjadi korosif. Apalagi dengan bengkaknya biaya dan ketidakjelasan perhitungan investasi kembalinya modal,” ujarnya.
A Khoirul Umam, Managing Director PPPI menyatakan, meski investasi China berada di urutan ketiga setelah Singapura dan Hongkong menurut data BKPM, namun besar kemungkinan China berada di posisi pertama, sebab Singapura dan Hongkong hanyalah transit dan pintu masuk modal-modal dari China untuk masuk ke Indonesia.
Umam juga menyoroti sejumlah investasi China yang cenderung memanfaatkan celah kelemahan tata kelola pemerintahan negara-negara penerima investasi sehingga sering berimbas pada perubahan master plan, perubahan harga dan alokasi anggaran, hingga perubahan tenggat waktu pengerjaan.
“Hal ini banyak dimanfaatkan oleh kekuatan oligarki yang mencari keuntungan dari ketidakpastian karakter investasi seperti itu,” kata Umam.
Masih menurut Umam pemerintah harus benar-benar mengevaluasi transparansi dan akuntabilitas dari setiap pengerjaan proyek investasi bersama China, sebab jika investasi dijalankan secara serampangan, tidak berdasarkan perencanaan yang matang, terus berubah-ubah, dan memunculkan pembengkakan biaya yang tidak terduga, maka rakyat dan negara akan dirugikan.***
Editor: denkur