Senja nan cerah, selepas pulang dari sawah dan kebun, Mang Endang rehat di teras rumah panggungnya. Ditemani singkong rebus dan kopi panas. Asyik mendengarkan dongeng Sunda dari radio.
DARA – Tak hanya Mang Endang yang begitu. Mendengarkan dongeng Sunda dari radio juga dilakukan oleh hampir semua masyarakat Jawa Barat di era tahun 1970 hingga akhir tahun 1990-an. Fenomena yang kini menjadi kenangan.
Dongeng Sunda radio itu kemudian dikenal dengan istilah “Dongeng Enteng Pasosore”.
Memang betul, di periode tahun itu dongeng Sunda radio jadi primadona masyarakat. Sejumlah stasiun radio ramai-ramai menyiarkan acara itu. Jadwalnya tak hanya sore hingga malam hari, tapi dalam perkembangannya juga diputar pada pagi hari.
Sejumlah stasiun radio yang rutin menyiarkan acara dongeng Sunda diantaranya Volvo, Dahlia, Garuda, Kencana, Paramuda, Parahyangan, Shinta dll.
Lalu, sejumlah pendongeng yang sangat diidolakan saat itu diantaranya Abah Kabayan, Rahmat Dipraja, Aom Cecep, Aji Dulacis, Bah Godeg, Mang Joni, Mang Barna, Mang Jaya, Jamar Media, Aki Balangantrang dan Wa Kepoh.
Dari sekian banyak judul dongeng yang disiarkan, setidaknya ada empat judul dongeng yang sangat popular kala itu, yakni dongeng berjudul Si Buntung Jago Tutugan dan Waliwis Bodas karya S Sukandar, Si Rawing karya Yat R, dan Sirod Djelema Gaib karya K Soekarna.
Masing-masing pendongeng tentu memiliki cara sendiri-sendiri untuk menarik simpatik pendengarnya. Umpamanya Rahmat Dipraja, pendongeng ini sangat digemari karena memiliki kelebihan mampu menyerupai tokoh perempuan.
Kemampuan mendongeng seperti ini juga kemudian ditiru oleh pendongeng lain, salah satunya yang popular adalah Wa Kepoh dan jamar Media. Menguasaan karakter tokoh jadi startegi yang disodorkan untuk menarik simpatik pendengar.
Pendongeng lain lebih kepada bagaimana ia membaca dan menyampaikan naskah dongeng dengan intonasi yang jelas dan mudah dimengerti pendengarnya. Sebut saja Bah Kabayan dan Mang Joni. Meski keduanya tidak menyuguhkan suara perempuan yang mirip, namun keduanya memliki keunggulan dari cara penyampaiannya yang tenang, jelas dan tertata.
Sebagai pemanis alur cerita, ada sejumlah radio yang menambahkan ilustrasi suara musik pengiring, cuaca dan juga suasana malam dengan lolongan anjing. Tergantung suasana yang disampaikan si pendongeng. Penambahan ilustrasi ini dimaksudkan untuk menarik imanjinasi pendengar seolah ikut berperan dalam cerita yang disuguhkan.
Lepas dari itu semua, program siaran dongeng radio ternyata juga digemari oleh kaula muda. Namun, terpcah menjadi dua kelompok pemuda. Jika kelompok pemuda petani lebih cenderung mendengarkan dongeng Sunda tanpa ada acara siaran lain, tapi kelompok pemuda sebut saja sekolah, selain mendengarkan dongeng juga rutin mendengarkan acara siaran Kang Ibing yang saat itu diputar radio Mara.
Acara Kang Ibing diputar radio Mara dua kali dalam seminggu, yakni malam Selasa dan malam Minggu. Acara ini pun jadi primadona di tahun 1970 hingga akhir 1990 an.
Kembali kepada dongeng Sunda radio, Si Buntung Jago Tutugan karya S Sukandar menempati rengking puncak yang sangat digemari pendengar. Saking popularnya, serial silat ini berkali-kali diputar oleh pendongeng dan radio berbeda.
Si Buntung Jago Tutugan yang dikarang S Sukandar di tahun 1960-an, adalah sebuah cerita rakyat yang berlatar belakang kehidupan dunia persilatan di pedesaan. Seting cerita berada di Leles Garut dan Bandung.
Kepiawaian sang pengarang yakni S Sukandar dalam meracik alur cerita menjadikan Si Buntung Jago Tutugan begitu seru. Pendengar benar-benar dibawa untuk berimajinasi seolah-olah menjadi saksi mata bagaimana perkelahian sengit antara tokoh Andi dengan para jawara lain.
Dua jurus sirat yang selalu teringat pendengar adalah jurus panggal muih dan jaladinongtrok. Inilah kehebatan S Sukandar dalam memainkan imajinasi karyanya menjadi sebuat cerita yang menarik.
Numatak waktu Andi kabireungeuh ngadeukeutan téh teu talangké deui sebrut waé Ki Badra jeung Ki Jalal téh narajang méh bareng nigaskeun bedogna.
Andi, mireungeuh ketakna ieu dua jalma, sakilat nyabut Siku-sikuna dibarengan ku ngagunakeun gerakan Panggal Muih. Gek, Clo. Nyaho-nyaho Andi geus aya tukangeunna, sarta teu antaparah deui ngan, belentrang.!.belentrang! We, sirah Ki Badra jeung Ki Jalal téh ditakolan ku Siku-siku maké jurus nakol bonang.
“Aaaakhh… Haduuuhh..! Duanana kontan ngarocéak sarta terus malikeun badan bari sewuk nyabetkeun bedogna. Andi anu geus bisa ngajudi yén lawan pasti bakal ngayakeun gerakan modél kitu, gentak ngajaul ka tukang.
“Geeloo…siah,Buntung! Ngabongohan ka aing, cucungah hulu aing téh kampéng-kampéng ogé fitrahan deuleu!” Ki Badra hohoak bari leungeunna nyabakan sirah. (Bersambung)
Editor: denkur