Pemakai internet di tanah air terus naik dan menyentuh angka 180 juta orang. Boleh jadi dua tahun lagi bisa nembus 200 juta orang. Catatan We Are Social, per hari orang Indonesia berinternet 7 jam 59 menit, artinya 1/3 waktu dalam sehari. Fakta inilah yang membuat bisnis dan tata kehidupan di tanah air bergerak ke ruang siber.
DARA | BALI – Pemerintah dan swasta sama-sama melakukan digitalisasi. Namun, banyaknya pengambil keputusan yang bukan digital native atau generasi yang benar-benar lahir dan melek digital membuat keputusan yang dihasilkan seringkali merugikan. Ini semua karena faktor ketidaktahuan. Potensi ekonomi digital tanah air menurut Google bisa menembus 100 miliar dollar US pada 2025.
Dalam acara Indonesian CIO Network di Bali, Rabu kemarin (4/3.2020), pakar keamanan siber, Pratama Persadha menjelaskan, tingginya potensi ekonomi digital juga akan diikuti oleh potensi fraud akibat kejahatan siber
yang besar pula.
“Karena tren bisnis, transaksi dan pengelolaan negara ini ke arah siber, tentu tindak kejahatan siber juga akan banyak tumbuh di sana. Karena itu baik negara maupun swasta harus bersiap diri. Paling tidak menyiapkan
sistem yang menjamin keamanan dan privasi data untuk sukses di ruang siber,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini dalam rilisnya yang diterima dara.co.id, Kamis (5/3/2020).
Pratama menambahkan, pemerintah kita ingin investor masuk. Selain masalah stabilitas, para pemodal ini juga melihat sejauh mana kesiapan negara mengurusi ruang siber. Dari UU, pelaksanaan teknis, infrastruktur sampai pada SDM sibernya.
“Secara teknis paling tidak penggunaan teknologi enkripsi harus menjadi budaya siber di tanah air, fungsinya jelas untuk keamanan. Lalu melakukan audit digital secara berkala, juga demi keamanan. Lalu dilengkapi dengan mitigasi kebocoran informasi serta peningkatan security awareness, semuanya sangat penting dalam mewujudkan ekosistem yang mendukung pengamanan data dan privasi,” terang pria asal Cepu Jawa
Tengah ini.
Pratama menggarisbawahi, masih ada pekerjaan rumah yang mendasar di tanah air. Misalnya OJK hanya melakukan pengawasan berdasarkan regulasi keuangan. Padahal para pelaku pasar keuangan kini sudah banyak
bermigrasi memanfaatkan ruang siber, jadi teknisnya siapa yang mengawasi, apalagi ada data nasabah di sana, kembali masalah privasi menjadi sorotan.
“Budaya security awareness harus digalakkan sejak dini, bahkan harus masuk dalam kurikulum pendidikan. Lalu penggunaan enkripsi, budaya audit sistem berkala dan mitigasi kebocoran informasi harus diterapkan menjadi
standar di tanah air. Tak kalah penting sejauh mana perlindungan privasi data penduduk,” terangnya.
Pratama menambahkan, tanpa jaminan privasi dan keamanan, kedepannya sulit bagi pasar tanah air untuk masuk ke negara lain yang mensyaratkan pengamanan digital dan privasi yang ketat pada sistemnya. GDPR (General
Data Protection Regulation) misalnya, UU Siber milik Uni Eropa tersebut mensyarakatkan kerjasama bisnis dan maupun non-bisnis bisa dijalin antar lembaga beda negara dengan syarat ada regulasi dan teknologi pengamanan siber yang setara dengan standar Uni Eropa.
Panelist lainnya yang turut mengisi dalam acara tersebut adalah CTO JNE Arief Rahardjo, Country Manager Laksana Budiwiyono, (ISC)2 Indonesia Chapter President Andang Nugroho dan Country Manager Tenable Indonesia Hans Tanit.***