Kenaikan cukai rokok dikhawatirkan akan berdampak pada PHK di industri rokok. Lagi pula, tidak semua petani tembakau tahu rencana kenaikan cukai itu.
DARA | BANDUNG — Dua organisasi petani tembakau, yakni Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) dan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak rencana pemerintah pusat menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen. Kenaikan cukai bakal berimbas kepada PHK ribuan buruh industri rokok.
Ketua Umum AMTI Pusat, Budi Doyo mengatakan, secara tegas hingga saat ini pihaknya menolak rencana kenaikan cukai tersebut. Meski sebenarnya pihaknya menyadari penolakan yang dilakukan tidak akan bisa mengubah keputusan pemerintah.
Kenaikan cukai 23 persen, menurut dia sangat tidak rasional dan tidak mempertimbangkan daya beli masyarakat yang lemah. Kenaikan ini, lanjutnya, sangat berdampak pada industri rokok, karena cukai yang tinggi, bakal terjadi penurunan produksi.
“Jika terjadi penurunan produksi, maka artinya akan terjadi PHK besar-besaran,” ujar Budi, ditemui di Dome Bale Rame, Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (29/10/2019).
Ia menjelaskan, jika ada penurunan produksi sebesar 5 persen pada industri sigaret kretek tangan (SKT), maka akan terjadi PHK sebanyak 7.000 orang pegawai. Sedangkan untuk indutri sigaret kretek mesin (SKM) penurunan produksi 5 persen.
Itu, lanjutnya pula, sama dengan PHK sekitar 4.000 orang pegawai, yang sudah pasti bukan perkiraan lagi. Semua dampak negatif yang akan terjadi itu sebenarnya telah disampaikan pihaknya kepada pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja (Menaker).
“Namun sayangnya pemerintah tetap pada keputusannya,” kata dia.
Ia menuturkan, penurunan produksi yang bakal berimbas pada PHK itu akan terasa pada kuartal pertama dan kedua. Hal yang bisa dilakukan oleh industri, masih menurut dia, adalah melakukan efisiensi dengan pengurangan jam kerja atau PHK.
“Pemerintah itu katanya berusaha menyediakan lapangan kerja. Tapi kenapa yang ada digerus terus,” ujarnya.
Budi menambahkan, salah satu tujuan pemerintah menaikkan cukai rokok untuk mengurangi dampak buruk rokok terhadap kesehatan. Namun ia menyayangkan, kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kebiasaan masyarakat perokok yang elastis.
“Rencananya kan untuk menurunkan privalensi jumlah perokok. Tapi hal yang perlu diingat perokok itu elastis. Artinya ketika merek rokok tertentu harganya naik mereka akan melakukan down grade. Nanti ujung-ujungnya rokok ilegal,” kata dia.
Hal senada dikatakan Ketua Umum APTI, Soeseno, yang mengungkapkan, dampak negatif dari rencana kenaikan cukai tembakau ini sudah dirasakan para petani. Sebagian pedagang ‘nakal’ memanfaatkan isu rencana kenaikan cukai untuk mempermainkan harga.
Dia menyebutkan, tidak semua petani tembakau tahu rencana kenaikan cukai itu. “Yang tahu para pedagang. Pedagang ini yang mempermainkan harga. Tapi kalau di Jabar harga masih bagus, di Madura dan beberapa daerah lainnya turun hingga 20 persen harganya,” ujar Soeseno.
Selain itu, menurut Soeseno, isu ini juga berdampak pada melambatnya pembelian. Misalnya, pabrik biasanya belanja 2 ton kini berkurang menjadi 500 kilogram.
“Nah, kalau begitu kan yang repot petani, karena tidak punya tempat penyimpanan dan lainnya,” katanya.
Menurut dia pula, rencana kenaikan cukai telah memaksa para pedagang menahan pembelian. Mereka khawatir prevalensi atau jumlah perokok akan berkurang, sehingga berdampak pada penurunan produksi dan mereka tidak mau berspekulasi membeli tembakau dari petani dalam jumlah besar.
“Saya kira target pendapatan pemerintah dari cukai sebesar Rp160 triliun itu tidak akan tercapai. Kalau tidak tercapai, artinya dana bagi hasil cukai tembakau (DBHCT) tidak akan naik secara signifikan,” ujarnya.***
Wartawan: Muhammad Zein | Editor: Ayi Kusmawan