Tujuan mendirikan perusahaan pers ada yang memang dilakukan untuk memeras dengan belagak investigasi, menjadikan profesi wartawan dari media itu untuk menggertak dan mengintimidasi atas nama kemerdekaan pers.
Pekan lalu saya diminta untuk cuap-cuap di acara rapat kerja nasional sebuah grup media siber, di Jakarta. Memberi semacam pembekalan mengenai Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber bagi sekitar 100-an wartawan media tersebut yang datang dari berbagai daerah di Tanah Air. Ruang berukuran sekitar 8 x 40 meter itu terasa penuh.
Rapat yang berlangsung selama dua hari ini tidak hanya tentang konten berita. Tetapi juga dibuat untuk personel redaksi yang menangani grafis, pengembangan content creator, orang marketing dan distribusi digital dst. Mereka ada di ruang terpisah. Pokoknya rapat kerja ini berisi paket komplet pelatihan semua lini media online.
Terus terang saya agak terkejut dan kagum pada boss media tersebut, yang berani keluar uang banyak untuk mengecharge personalia medianya, untuk meningkatkan kapasitas dan komptensi mereka, di zaman yang serba susah ini.
Prinsip menjadikan SDM sebagai kekayaan utama perusahaan, memang kredo yang semua orang sudah tahu. Tetapi dalam kondisi saat ini, hanya sedikit perusahaan pers yang berani melakukannya. Yang ada adalah pemotongan gaji, penghilangan fasilitas, pengurangan tenaga lewat program pensiun dini, bahkan PHK.
Sungguh melegakan masih ada yang mendidik wartawannya untuk menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas, berita yang di era ideal disebut sebagai karya intelektual.
Mempertahankan good journalism seperti tugas yang sulit berhasil, seperti mitos Sisifus, yang selalu terpukul mundur ketika bergerak naik sedikit.
Hantaman dari agresifnya news aggregator mengambil iklan media massa, semakin mendalamnya intervensi media sosial ke ruang informasi publik, merupakan pukulan ganda yang membuat media konvensional tidak hanya terhuyung-huyung. Tapi rubuh terjerembab. Bahkan mati, khususnya media cetak yang seperti tidak kompatibel dengan perkembangan zaman.
Mungkin kita kini telah menjadi Sisifus itu sendiri. Kita tidak pernah putus asa meskipun sadar bahwa perjuangan yang dihadapi untuk menciptakan jurnalisme berkualitas takkan pernah selesai. Bedanya mitos dengan dunia nyata adalah kerja keras beberapa media menunjukkan ada peluang keberhasilan, tidak sekadar bertahan, tetapi maju setapak demi setapak.
Hanya sedikit media yang berada dalam kuadran ideal, mempertahankan jurnalisme baik dan perusahaan tetap untung, bisa dihitung jari. Ada yang setia pada etos jurnalisme tetapi hidup pas-pasan atau cenderung bertahan hidup. Ada yang menyisihkan idealisme dan mengutamakan pendapatan agar neraca perusahaan baik, dan kuadran yang satunya adalah mengedepankan keuntungan tanpa peduli pada kode etik dan kaidah-kaidah jurnalisme.
Riuh rendahnya pertumbuhan media siber, cenderung masuk ke dalam kuadran keempat di atas. Sebagian besar media didirikan pertama dan terutama dari keinginan untuk mencari pendapatan, meraih untung, minimal ikut menikmati anggaran publikasi dan pencitraan yang ada di APBD provinsi atau kabupaten kota.
Kalau hanya menjadi wartawan, uang yang berseliweran di depan mata, tidak bisa didapat. Tetapi kalau mendirikan media, peluang dapat uang ada. Sekaligus mengubah kedudukan atau status dari semula hanya karyawan digaji, menjadi pemilik media alias pengusaha.
Media Terverifikasi
Salah satu indikator dari motif ini adalah gencarnya upaya pemilik media untuk menjadikan medianya berstatus terverifikasi (minimal terverifikasi administrasi) dari Dewan Pers, karena di banyak provinsi dan kabupaten-kota, itu merupakan syarat diikutkan dalam kemitraan publikasi dan pencitraan pimpinan dan pemerintahan daerah.
“Syarat sudah kami lengkapi semua. Kapan media kami terverifikasi Bang. Ini syarat supaya kami bisa dapat adeve,” kerap tertulis pesan WA di ponsel saya. Apa itu adeve? Advetorial, yang di bawah berita sering ditulis ADV.
“Sabar. Kalau sudah lengkap pasti akan terverifikasi,” saya jawab. Tapi dua tiga pekan kemudian, muncul lagi pesan serupa.
Mendesak sekali tampaknya status itu, apalagi kalau menjelang batas waktu pengajuan anggaran. Padahal setiap minggu ada belasan bahkan puluhan pengelola media membuat akun di Pendataan Dewan Pers, dan memasukkan berkas-berkas yang disyaratkan. Memeriksa satu persatu dokumen yang dikirim perlu waktu, sementara jumlah petugasnya juga terbatas. Perlu kesabaran.
Apalagi konten setiap media ini pun harus diperiksa, karena tidak sedikit media yang beritanya sebagian besar berisi press release, atau tidak ada keterangan dan credit title foto. Apabila wartawan dan editornya kompeten, tentu berita akan diolah sesuai kaidah jurnalistik walaupun bahannya dari rilis berita. Mereka juga akan tahu soal hak cipta, maka siapa yang memotret akan dituliskan mendampingi foto.
Apakah semua demikian? Ternyata tidak. Perusahaan media yang mengedepankan kualitas memang juga ingin terverifikasi, tetapi tidak menjadikannya sebagai proyek mendesak, normal saja. Bagi mereka kualitas berita yang tersaji secara konsisten, sudah menjadi bekal pemasaran baik bagi konsumen informasi maupun pemasang iklan.
Bahwa iklan dari pemerintah itu penting, betul. Tetapi tidaklah menjadi satu-satunya andalan pemasukan. Karena kenyataannya persaingan di bidang atau produk usaha tertentu, kewajiban untuk transparansi dan akuntabilitas perusahaan, laporan keuangan, masih menyediakan iklan yang umumnya ditaruh di media mainstream.
Apalagi media berkualitas memiliki pelanggan berbayar, mereka yang diberikan akses untuk mendapatkan konten premium, dengan membayar dalam jumlah tertentu perbulan. Meski harus diakui, nilainya belumlah setara dengan langganan suratkabar, ketika media massa cetak ada di masa jayanya. Masyarakat kita masih lebih suka yang gratis dalam mendapatkan informasi, sesuai dengan hasil riset yang dilakukan Dewan Pers bersama Universitas Prof DR Moestopo (Beragama), Jakarta, beberapa waktu lalu.
Lebih senang mendapatkan informasi tidak bayar meskipun mungkin kontennya campur-campur antara yang bagus dan asal-asalan dan saat membacanya masih direcoki iklan yang menutupi sajian konten itu. Berbeda dengan di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, sejumlah negara Eropa, konten berbayar ini disambut baik serta didukung, karena ingin mendapatkan karya jurnalistik bermutu.
Kondisi ini tentu saja mempengaruhi pertumbuhan media yang mengedepankan jurnalisme berkualitas, yang harus berjuang ekstra keras mempertahankan idealisme sekaligus mampu bertahan secara ekonomis—dengan memberi gaji baik untuk wartawannya dan setia pada kode etik dengan tidak mau diintervensi berbagai kepentingan melalui sogokan iklan dan sejenisnya. Mereka ini juga akan kalah dalam mendapatkan klik karena judulnya tidak sensasional serta tidak berupaya membuat mata terbelalak dengan kata-kata menohok, meski mungkin unggul dalam waktu baca karena artikelnya menarik dan mendalam.
Pengaduan ke Dewan Pers
Ketika Undang-Undang No 40 tentang Pers disahkan pada tahun 1999, yang salah satu pasalnya berbunyi “setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers” (Pasal 9), tentu maksudnya adalah agar kita semua dapat memanfaatkannya untuk memaksimalkan fungsi kontrol sosial; peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran, dst.
Kenyataan yang terlihat saat ini penyelewengan semakin parah, karena motif ekonomi dan keinginan memiliki kekuasaan penegakan hukum. Tujuan mendirikan perusahaan pers ada yang memang dilakukan untuk memeras dengan belagak investigasi, menjadikan profesi wartawan dari media itu untuk menggertak dan mengintimidasi atas nama kemerdekaan pers. Bahkan menamai medianya mirip atau mendekati nama lembaga penegak hukum, dengan logo serta emblem mengkilat, untuk menakut-nakuti kepala desa, kepala sekolah, birokrat di pemerintahan daerah atau perusahaan swasta.
Tidak salah kalau citra wartawan atau jurnalis menjadi buruk akibat lagak lagu mereka yang tampil kadang lebih mentereng dibanding wartawan sungguhan. Ditambah lagi karya jurnalistik mereka menjadi barang dagangan, muncul rasa skeptis di kalangan masyarakat, khususnya yang tidak faham seluk beluk pers dan media.
Pengaduan ke Dewan Pers sampai akhir November lalu mencapai hampir 800 kasus, dengan media yang diadukan sebagian besar adalah media siber. Materi aduan adalah pelanggaran kode etik akibat berita yang tidak berimbang, tidak konfirmasi, opini menghakimi, dan asas praduga tak bersalah, serta tidak akurat. Kesalahan mendasar, yang tidak akan terjadi apabila wartawan atau editornya memahami dan menguasai kode etik.
Inisiator UU Pers yang masih hidup, mungkin tidak membayangkan ini yang terjadi. Bisa jadi mereka kecewa, betapa luar biasa dampak negatif dari kebebasan apabila disalahgunakan untuk tujuan tidak baik. Ulah penumpang gelap kemerdekaan pers ini menjadi persoalan besar, yang para pemangku kepentingan pers—kita semua–harus mencari jalan keluarnya.
Editor : Maji