Triwulan III 2019, ekonomi Jawa Barat memang melambat. Tapi, pada Triwulan IV 2019 angka pertumbuhan sudah lebih tinggi.Pada akhir tahun konsumsi tinggi. Harapannya, investor masuk pada Triwulan IV.
DARA | BANDUNG — Perang dagang Amerika Serikat dengan Cina dan kondisi geopolitik yang tidak kondusif di sejumlah negara, menghadirkan ketidakpastian ekonomi global. Situasi tersebut tentu berdampak negatif pada perekonomian Indonesia, termasuk Jawa Barat. Dalam kurun dua tahun terakhir, misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan berada dikisaran 5,04 persen. Neraca perdagangan ekspor dan impor Indonesia pun konsisten mengalami defisit.
Meski begitu, Analis Senior Divisi Advisory Ekonomi Keuangan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, Darjana, memproyeksikan ekonomi Jawa Barat akan tumbuh melebihi capaian tahun ini pada 2020.
“Tahun 2020, kita memproyeksikan angkanya lebih tinggi dari tahun ini. Beberapa faktor pendukung dan ada syaratnya, yakni investasi yang masuk ke Jabar harus lebih tinggi dari sekarang,” katanya seusai menjadi pembicara dalam Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian dan Pembangunan.
Selain investasi, lanjut dia, selesainya sejumlah proyek infrastruktur yang bersifat bangunan maupun non-bangunan, kebijakan Omnibus Law atau pembentukan Undang-undang besar, dan insentif pajak, akan membuat perekonomian Jawa Barat membaik.
“Triwulan III 2019, ekonomi Ja bar memang melambat. Tapi, pada Triwulan IV 2019, angka pertumbuhan sudah lebih tinggi.Pada akhir tahun konsumsi tinggi. Harapannya, investor masuk pada Triwulan IV,” ujarnya.
Inflasi Jawa Barat pada 2020, menurut dia, akan turun dan berada di angka 3,0+-1. Faktor penyebabnya adalah harga komoditas, harga minyak bumi, dan nilai tukar yang stabil.
Dengan begitu, daya beli masyarakat tahun depan tidak bakal menurun. “Namun demikian, ada kemungkinan inflasi naik, seperti masa tanam mundur. Kemudian, awal tahun ada beberapa kebijakan. Semoga hanya pada Triwulan I atau Semester I 2020,” katanya.
Tidak hanya itu, Darjana menyoroti sejumlah program PPemprov Jawa Barat yang berbasis pada ekonomi inklusif, seperti mengakselerasi pembangunan desa, kemandirian ekonomi pesantren, dan pengembangan pariwisata. “Itu berdampak positif ke pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Kalau kita bisa kualitas dari PDB itu tidak hanya nilai tambah dikuasai segelintir orang, tapi dinikmati semuanya.”
Pilihan sektor pariwisata, ekonomi kreatif, dan ekonomi pesantren, lanjutnya, bisa lebih tinggi inklusivitas. “Dan akan lebih terasa di 2020, yakni pertumbuhan tinggi, inklusivitas membaik, inflasi merendah.”
Pernyataan senada dinyatakan pula oleh Plt. Kepala Bidang Sektor Riil Kemenko Bidang Perekonomian, Thasya Pauline. Menurut dia, langkah Pemprov Jawa barat untuk mengembangkan sektor pariwisata sejalan dengan arah kebijakan pemerintah pusat.
“Pariwisata Jabar Itu sudah sejalan dengan nasional. Bukan berarti kita harus dorong penuh pariwisata. Industri tetap berjalan ke yang lebih padat modal dan hi-tech. Nah, tenaga kerja cari sektor-sektor yang lebih inklusi. Salah satunya pariwisata itu,” katanya.
Thasya menekankan sinergisitas pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia. Salah satunya dengan berkolaborasi dan menyelaraskan sejumlah program pembangunan.
“Supaya konsistensi dalam aturan, dalam penyusunan aturan ada sinergi. Jangan sampai ada yang kontradiktif di pusat dan daerah. Kolaborasi, program yang dicanangkan pusat, dibawa turunannya untuk kabupaten/kota itu selaras,” ujarnya.
“Bagaimana kita sama-sama melihat atau menyelaraskan. Kolaborasi dan inovasi untuk menciptakan terobosan-terobosan baru,” katanya.
Sebelumnya, Asisten Daerah Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi Jawa Barat, Eddy Nasution, memaparkan empat skema Pemprovi Jawa Barat dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertama, meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Kedua, lanjutnya, meningkatkan fiskal daerah dan meningkatkan pembentukan investasi. Terakhir, mendorong sektor basis berorientasi ekspor serta menekan impor.
“Selain itu harus juga mendorong investasi berbasis ekspor karena dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, meningkatkan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri,” ujarnya.
Ia menyebutkan, Pemprov Jawa Barat saat ini fokus pada perekonomian inklusif melalui pengembangan sektor pariwisata. Dia pun memaparkan sejumlah latar belakang kenapa Pemprov Jawa Barat konsisten menjadikan pariwisata sebagai lokomotif ekonomi daerah.
Pariwisata, menurut dia, menyerap tenaga kerja lebih banyak. Bukan hanya pemodal besar.
“Tapi juga tukang parkirnya, guide-nya, dan masyarakat lokal mendapatkan keuntungan. Itu semua lebih merata. Saya kira Jabar ingin ada sumber pertumbuhan ekonomi baru. Dan itu adalah pariwisata,” katanya.***
Editor: Ayi Kusmawan