DARA | JAKARTA – Sosok La Nyalla Mataliti tiba-tiba muncul lalu mengaku ia yang menyebarkan fitnah dan berita hoax bahwa Presiden Joko Widodo merupakan keturunan kader PKI. Namun, pengakuan itu tak diproses hukum kepolisian. Padahal, pengakuannya itu mengandung unsur fitnah dan menyebarkan berita hoax yang cukup serius, sebab orang yang difitnahnya adalah seorang presiden.
Berbeda dengan kasus Ratna Sarumpaet. Ia kini mendekam ditahanan karena menyebarkan berita hoax tentang dirinya dan bukan memfitnah orang lain, apalagi presiden. Tapi Ratna diproses secara hukum.
Wakil Ketua DPR Fahmi Hamzah membandingkeun pengakuan La Nyalla dengan Ratna Sarumpaet. Dalam cuitannya di akun Twitter @FahriHamzah, dia menilai ada perlakuan berbeda di antara keduanya. Kasus hoaks Ratna dalam proses hukum, sementara La Nyalla kini mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019.
Dilansir dari CNN, Fahmi Hamzah menyindir politikus Partai Bulan Bintang (PBB) La Nyalla yang mengaku telah menyebarkan fitnah bahwa Presiden Joko Widodo merupakan keturunan kader PKI pada Pilpres 2014.
“Pengakuan jujur telah berbohong dan memfitnah tak harus berakhir di penjara, ada yang berakhir di pangku kekuasaan. Itu lah dunia. Keadilan itu relatif…. #RatnaMenyaLLa,” demikian petikan cuitan Fahri di akun Twitter miliknya yang telah terverifikasi, Kamis (13/12).
Fahri mengatakan seandainya dirinya menjadi polisi, La Nyalla dapat menjadi tersangka seperti Ratna karena telah menyebarkan fitnah dan kebohongan. Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf juga dinilai seharusnya melaporkan La Nyalla.
Fahri Hamzah berpesan kepada Jokowi agar tidak bersenang hati karena menerima dukungan dari orang yang memiliki masalah hukum. Hal itu dapat menjadi metode pembusukan yang efektif.
“Kubu sebelah berhasil membersihkan dari dari penjahat. Loh, kok kubu sini malah sedang euphoria terima mantan? #MatiKetawaAlaKita,” lanjut cuitan Fahri.
Berkaca dari kasus Ratna, Fahri menyatakan pengakuan seseorang yang mengandung unsur pidana meski sudah ada permohonan maaf, tak membuat serta merta dimaafkan oleh hukum.***
Editor: denkur