DARA | BANDUNG – Setelah mengalami dua kali erupsi, Gunung Tangkuban Parahu kini berstatus waspada. Terhitung sejak 2 Agustus 2019. Selain itu Gunung yang terletak di perbatasan Bandung dan Subang ini termasuk gunung tipe A, artinya masih aktif.
Volkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Mirzam Abdurrachman ST,MT, mengatakan, Gunung Tangkuban Parahu mengalami erupsi freatik disebabkan uap akibat air yang berinteraksi dan terpanaskan oleh magma. Memiliki siklus letusan 10 tahunan.
Berdasarkan data dan penelitian, Gunung Tangkuban Parahu pernah meletus tahun 1951, 1961, dan 1971. Namun, setelah tahun 1971, harusnya meletus lagi tahun 1981, tapi menjadi tahun 1983. Bergeser 12 tahun. Setelah itu bergeser kembali menjadi hampir 10 tahunan lagi, yaitu 1994 dan 2004.
Menurut Dr Mirzam, Gunung Tangkuban Perahu terakhir meletus tahun 2004. “Jika mengacu pada pola volume dan interval waktunya, maka seharusnya meletus pada 2014. Namun ternyata pada 2013, terdapat erupsi kecil sehingga tahun 2014 tidak terjadi apa-apa. Setelah itu kemudian terjadi erupsi kecil lagi pada 2015, 2016, dan 2017, 2018 dan terakhir 2019 yang lalu,” ujarnya seperti dilansir galamedianews, Selasa (6/8/2019).
Dr. Mirzam mengkhawatirkan karena belum ada letusan lagi sejak terakhir 2004, sehingga meskipun freatik ini tetap perlu menjadi kewaspadaan. “Tapi saya tidak bisa mengatakan bahwa freatik ini tidak apa-apa, terjadi sesaat dan akan berhenti,” kata dosen dari Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB di laman resmi ITB.
Dia menjelaskan, gunung tersebut memiliki potensi untuk mengalami letusan karena secara interval waktunya sudah telat lima tahun. Namun dia berharap, letusan-letusan kecil yang terjadi sebelum dan sesudahnya, itu bisa mengurangi akumulasi energi yang terkumpul.
“Bisa jadi memang periodenya sekarang ini. Maka harus diantisipasi. PVMBG sendiri sudah melakukan pengamatan aktivitas dengan benar. Sudah diamanati dengan peralatan seharusnya, misalnya dilihat perubahan seismisitasnya, perubahan temperatur, perubahan bentuk tubuh gunung api dan bacaan gas. Itulah yang dimaksud dengan prediksi jangka pendek yaitu dengan cara peningkatan status atau level,” tambahnya melalui sambungan telepon kepada Humas ITB dari Singapore.
Letusan freatik yang terjadi beberapa waktu lalu, tidak berbahaya karena jarak vertikalnya pun hanya 200 meter. Hal itu disebabkan karena musim kering sehingga volume air yang terpanaskan sedikit. Namun jika dalam jumlah besar, erupsi freatik tetap saja berbahaya.
“Yang saya lakukan adalah prediksi jangka panjang yang caranya ialah dengan mengetahui berapa interval waktu rata-ratanya. Jadi kalau misalnya kalau sekarang sering batuk-batuk tapi memang belum waktunya ya itu relatif aman. Tapi kalau harusnya dari 2014 belum meletus sampai 2019 maka harus hati-hati sekali,” tambahnya.
Pesan kepada Masyarakat
Kendati demikian, lanjutnya, masyarakat tidak perlu khawatir berlebih dan hendaknya mengikuti anjuran dari PVMBG. Selain itu, mereka juga harus melakukan self mitigasi, yaitu mengetahui tanda-tanda awal atau perubahan yang terjadi pada gunung api.
Dijelaskannya, gunung api mengeluarkan tanda-tandanya secara alami jika mengalami peningkatan aktivitas. Misalnya, ada peningkatan kegempaan, itu artinya magma sedang bergerak ke permukaan, perubahan suhu di kawah jika semakin panas berarti ada magma yang bergerak, mata air kering, dan perilaku binatang yang berubah. “Nah harapannya, masyarakat itu bisa mengetahui tanda-tanda alam tersebut selain mengikuti anjuran dari pemerintah,” ujarnya.
Tidak Ada Hubungan dengan Sesar Lembang
Selepas kejadian erupsi freatik, banyak yang mengaitkan dengan kondisi sesar atau patahan Lembang. Namun Dr. Mirzam menegaskan, belum pernah ada di dalam sejarah, gunung api bisa membangkitkan gempa tektonik dari patahan atau sesar.
Dia menjelaskan, gempa adalah pelepasan energi yang tiba-tiba, jenisnya ada empat, yaitu gempa tektonik karena pergerakan lempeng/patahan, gempa terban dari runtuhan gua dan lain-lain yang skalanya lokal, ketiga gempa karena tumbukan meteorit yang memiliki skala global, dan ketiga gempa vulkanik karena bergeraknya magma ke permukaan.
“Gunung api itu menimbulkan gempa vulkanik, tapi tidak pernah ada sejarahnya gempa vulkanik mengaktifkan sesar atau lempeng tektonik,” ujarnya.
Namun jika sebaliknya, gempa tekntonik memicu gunung meletus, sangat bisa terjadi. Dr. Mirzam memberikan dua contoh kasus. Pertama pada 1707 di Jepang, saat gempa besar menghantam dengan kekuatan 8,6 magnitudo, memudian Gunung Fuji ikut meletus. “Kenapa terjadi demikian, karena Fuji sudah masuk siklusnya waktu itu,” katanya.
Sementara contoh kedua, ialah Gempa Lombok. Pada saat itu, Lombok diguncang gempa berulang kali, akan tetapi Gunung Rinjani tidak bergeming karena memang belum interval waktunya untuk meletus. “Interval waktu meletus Gunung Rinjani itu 26 tahunan, terakhir meletus 1994, artinya baru tahun 2020 Rinjani akan menyapa ” pungkasnya.***
Editor: denkur/Sumber: galamedianews.com