MONOLOG suka atau tidak, harus diakui itu terjadi tatkala seorang manusia muslim berada di Padang Arofah untuk wukuf.
Wukuf Arrofah sebagai puncak ritual ibadah haji yang harus dilakukan seluruh jamaah calon haji. Jadi berhaji tanpa wukuf? Di sana di Padang Arrofah tempat wisuda haji.
Jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berada di padang Arrofah yang kalau boleh saya sebut sebagai ritual yang secara Ilahiah tak ada pembedaan. Apakah seorang pejabat tinggi negara, ulama, manusia biasa-biasa saja, atau bahkan seorang bromocorah.
Tak ada beda. Semua berihrom putih, tanpa jahitan. Yang membedakan hanya perbuatan, amal dan ibadah yang hanya diketahui oleh diri masing-masing.
Ihrom putih tanpa jahitan boleh kita tafsirkan sebagai simbol kesamaan dan kematian.
Saat berihrom di Arrofah itu, ingin rasanya menyuarakan: inilah ciri kemajemukan umat Islam. Umat Islam tak mendisriminaksikan warna kulit, suku bangsa. Ada kulit putih, hitam kelam, kuning langsat, dan sawo matang, semua sama dalam ihrom.Kain ihrom tak ada warna lain, kecuali putih.
Rampung wukuf Arrofah, jutaan para pemanut Muhamad SAW, bergerak menuju Mina untuk mabit (bermalam) di sana yang sebelumnya harus memungut batu di Mudzalifah sebagai bekal melontar jumrah di Jamarot. Simbolik mengusir dan mengumpat serta memaki setan yang selalu menggoda kehidupan manusia!
Setan aku usir jauh-jauh! Hardik, umpat dan rasa kebencian bersatu.Setan menjadi musuh bersama umat Islam, tak terkecuali aku! Setan, engkau memang jago memuslihati diri manusia.
Ibadah haji dalam kronologis ke-Islam-an sebagai ibadah tertua umurnya dibanding ibadah-ibadah lainya. Berhaji diawali oleh Nabi Ibrahim AS, lantas disempurnakan pada masa Nabi Muhammad SAW.
Panjang memang rentang waktu antara masa hidup Nabi Ibrahim ke Nabi Muhamad SAW. Tetapi benang merah dalam pelaksanaan ibadah haji ini tak terputus., Bahkan sampai kini benang merah itu terus terbentang kuat.
Ibadah haji, yuk! kita sebut sebagai ibadah menapaktilas, jejak langkah para nabi termasuk Nabi Muhamad SAW. Inilah langkah perjuangan para nabi dalam menegakan tauhid.
Kemurnian, kebulatan tekad hanya kepada Allah SWT untuk mengabdi. Tiada Tuhan untuk disembah selain Allah. Umat haji di Arrofah, tegak berdiri di atas landasan tauhid.
Tauhid menjadi pilar bagi terwujudnya kepribadian yang kuat. Dialogku dengan diriku: terintegrasikah tauhidku dengan kehidupanku. Barangkali setan yang aku usir dan aku maki serta dijadikan musuh bersamaku saat berjumroh, akan menari hangat, meliuk-liukan tubuh baunya atau bahkan menyarukan aroma harum surga yang padahal neraka, manakala –ketauhidanku– yang diraih saat berhaji wukuf arrofah rapuh.
Ingin rasanya kita memiliki semangat tauhid Nabi Ibrahim. Ibrahim diperintahkan putra semata wayangnya Ismail dari Sitit Hazar, untuk disembelih di satu bukit yang kemudian disebut Jabal Qurban. Sebagai manusia Ibrahim pasti mengalami ke-sabiil-an. Gelisah, resah antara taat dan ingkar atas titah Allah.
Kosong hati Ibrahim barangkali, saat berperang melawan rasa cinta kasih terhadap putranya dengan titah yang datang dari Maha Yang Dipercaya. Labil, nyaris ketetapan dan ketaatan Ibrahim, saat iblis, setan dan gondorewo menguntit Ibrahim kemanapun melangkah.
Pilihan nabi, bisakah salah?Hanya ke-tauhidan yang kemudian membimbing Ibrahim untuk memilih bermahabah.Lebih mencintai Allah ketimbang seorang putra. Titah itu lantas dilaksanakan Ibrahim, setelah berhasil mengusir sibusuk pembisik kemunkaran dan keinkaran dari dunia kegelapan-neraka. Tersimbulkan dalam jumroh Usthu Ulo dan Aqoba.
Lantas qurban itu Anda tahu bukan Ismail yang disembelih. KehendakNya, yang tersembelih adalah seekor Gibas—domba. Satu proses yang hanya karena Ketauhidanlah yang memberikan pembenaran atas adegan peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim dan Ismail. Hanya tauhid dan ketaqwaan!
Saya meniru, Anda meniru, siapaun umat Islam meniru dan berharap kekuatan itu, kekuatan untuk bermahabah itu ada.
Semangat tauhid dalam ibadah haji dan berqurban bersatu menjadi satu kekuatan yang teryakini bisa meningkatkan harkat dan martabat manusia. Kita melakukanya?
Dalam qurban beritual penyebelihan hewan. Lantas ada pesan moral kemanusiaan, untuk dapat berbagi dengan manusia lain yang dipredikatkan oleh manusia sebagai bernasib buruk alias miskin.
Kemiskinan manusia atas keterbatasan finansial atau material menjadi sesuatu yang di atau ter- eksploitasi bagi pemuasan manusia lain dengan tangan kekuasaanya.Tak pantas kiranya menghiba-hiba pada kekuasaan tangan manusia yang katanya bisa mengatur pernasiban.
Dalam berhaji dan berqurban tak ada itu. Yang ada semangat untuk melihat perbedaan itu hanya sebagai cerita manusia tanpa mahabah. Dalam mahabah, menonjol semangat untuk tidak membedakan manusia karena kepangkatan, atau embel-embel dunia lainnya.
Semangat lain, adalah melawan nafsu, seperti Ibrahim mengalahkan nafsu kecintaanya atas Ismail, dan mengalahkan bisikan iblis untuk ingkar terhadap titah Allah.
Jadi raihlah spirit dari berhaji itu : kehendak untuk terus mencari jalan untuk tidak dibuta dan ditulikan pada keberadaanMu.