Hari ini 74 tahun lalu atau tepatnya 7 November 1945 lahir sebuah partai politik Islam bernama Masyumi singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia.
DARA | Dalam waktu kurang dari setahun, partai ini menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi termasuk dalam kategori organisasi Islam. Selama periode demokrasi liberal, para anggota Masyumi duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dan beberapa anggotanya terpilih sebagai Perdana Menteri seperti Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harapan.
Masyumi menduduki posisi kedua dalam Pemilu 1955 meraih 7.903.886 suara, mewakili 20,9% suara rakyat, dan meraih 57 kursi di parlemen.
Masyumi termasuk populer di daerah modernis Islam seperti Sumatera Barat, Jakarta dan Aceh. 51,3% suara Masyumi berasal dari Jawa, tetapi Masyumi merupakan partai dominan untuk daerah-daerah di luar Jawa dan merupakan partai terdepan bagi sepertiga orang yang tinggal di luar Jawa.
Di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, Masyumi memperoleh jumlah suara yang signifikan. Di Sumatera, 42,8% memilih Masyumi, kemudian jumlah suara untuk Kalimantan mencapai 32%, sedangkan untuk Sulawesi mencapai angka 33,9%.
Pada tahun 1958, beberapa anggota Masyumi bergabung dengan pemberontakan PRRI terhadap Soekarno. Sebagai hasilnya, pada tahun 1960 Masyumi —bersama dengan Partai Sosialis Indonesia— dilarang.
Setelah pelarangan tersebut, para anggota dan pengikut Masyumi mendirikan Keluarga Bulan Bintang untuk mengkampanyekan hukum syariah dan ajarannya. Sebuah upaya untuk membangkitkan kembali partai ini selama masa transisi ke orde baru sempat dilakukan, tetapi tidak diizinkan. Setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, upaya lain untuk membangkitkan partai ini kembali dilakukan, tetapi para pengikut Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang, yang berpartisipasi dalam pemilihan legislatif tahun1999,2004 dan 2009.
Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti (Madjlisul Islamil A’laa Indonesia (MIAI) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam.
Meski demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII).
Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara.
Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalamPutera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai, namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaituNahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam Indonesia dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy’arie terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari.
Nahdlatul Ulama kemudian keluar dari Masyumi melalui surat keputusanPengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.
Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan sempat merenggang padaPemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.***
Editor: denkur
Artikel ini diambil dari wikipedia, Kamis (7/11/2019)