Hari Perempuan Sedunia lahir untuk memberi dukungan terhadap perempuan di seluruh dunia. Selain itu, momen 8 Maret diperingati sebagai perayaan kesetaraan gender meliputi berbagai bidang, yakni sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik.
DARA – Di masa pandemi Covid-19, kesetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan tampaknya kian nyata. Tengok saja peran tenaga kesehatan yang berjibaku sebagai garda terdepan menangani pasien terkonfirmasi virus corona. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan yang memiliki tugas sama.
Sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung yang tentunya bagian dari tenaga kesehatan, dr Ahyani Raksanagara menilai peran perempuan dan laki-laki dalam kegiatan sosial maupun pekerjaan, keduanya diberikan kesempatan yang sama.
Maka itu, perempuan harus bisa memanfaatkan kesempatan yang telah diberikan untuk mengeluarkan semua potensi hingga menjadi manfaat bagi semua orang.
“Di jajaran kesehatan 60-70 persennya justru perempuan, ada perawat, bidan, dokter, dan kita selalu secara tugas tidak dibedakan, jadi intinya tunjukkan saja semua potensi itu,” tuturnya, di Balai Kota Bandung, Senin (8/3/2021).
Namun begitu, Ahyani tak memungkiri kesetaraan gender membuat perempuan saat ini memiliki peran ganda. Sebab selain bekerja di luar, perempuan juga memiliki peran di rumah, baik sebagai ibu maupun istri yang harus melayani suami dan anaknya.
“Tantangannya bagaimana mendukung orang terdekat, keluarga mendukung perempuan mengembangkan potensinya. Makanya kenapa yang ini bisa berkarya dengan baik, yang ini tidak. Itu tergantung dari supporting orang terdekat terutama keluarga,” ujarnya.
Selama pandemi, Ahyani dan juga tenaga kesehatan lainnya yang bersentuhan langsung dengan pasien terinfeksi Covid-19 bahkan memiliki tantangan lainnya, yakni berupa ketakutan dan kekhawatiran akan menularkan virus yang saat ini mewabah di seluruh penjuru dunia kepada anggota keluarganya.
“Di satu sisi mereka harus tiap hari melayani bahkan mencari yang positif. Di sisi lain dia punya anak, suami, dan keluarga, dia ada rasa gimana kalau nanti menularkan keluarga. Itu yang harus kita kuatkan bahwa ikhtiar harus maksimal, APD digunakan, protokol kesehatan dipakai. Saya bisa melihat bagaimana tenaga kesehatan kekhawatirannya setiap hari, dia harus menyusui anak sementara dia juga harus melayani karena itu sudah sumpah dokter,” urainya.
Terlebih selama pandemi Covid-19 pula, Ahyani sebagai pimpinan tertinggi tenaga kesehatan di Kota Bandung tidak pernah bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Dia setiap harinya harus berkeliling ke setiap fasilitas kesehatan seperti puskesmas, dan bertemu dengan banyak orang.
“Yang saya lakukan berusaha melindungi diri dan keluarga. Sampai ke rumah menerapkan protokol kesehatan yang benar. Sampai ke rumah saya tidak bertemu keluarga, mandi dulu, ganti baju dan sebagainya. Dan kalau saya diduga kontak erat, saya memisahkan diri sendiri, isolasi di kamar lain karena khawatir menularkan. Memang itu yang harus kita lakukan. Saya juga bilang sama suami kalau kita tidak bisa dulu tidur sekamar. Itu ngalamin beberapa kali,” katanya.
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi selama pandemi Covid-19, Ahyani menilai dibutuhkan perlindungan bagi para tenaga kesehatan. Mulai dari perlindungan profesi hingga dukungan sosial yang mampu membuat mereka bekerja lebih profesional dalam melayani publik.
“Perlindungan bukan hanya secara fisik, tetapi asuransi seharusnya juga ada. Dan dukungan dari sosial, jangan distigma tapi harus disupport karena mereka memiliki kegalauan sendiri, tidak pernah ada libur dari tahun lalu, jadi pemahaman seperti itu sangat diperlukan bagi semua,” pungkasnya.***
Editor: denkur