Ratusan wartawan menghadiri peringatan Hari Pers nasional (HPN) di Surabaya, Jawa Timur, 9 Februari 2019. Presiden dan sejumlah menteri pun hadir, termasuk para pejabat Pemerintah Provinsi Jatim dan Wali Kota Surabaya.
HPN tahun 2019 ini seperti HPN tahun sebelumnya dihiasi dengan pemberian anugerah berbagai katagori. Juga ada bazzar dan beberapa seminar, sehingga HPN tak hanya diikuti para jurnalis, namun juga masyarakat sekitar. Itu memang sudah sepatutnya, HPN tak hanya milik wartawan tapi juga sepantasnya dimiliki oleh masyarakat, sebab pers dengan masyarakat memiliki keterkaitan erat selaras dengan posisi pers sebagai penyampai aspirasi rakyat untuk pemerintah. Begitupun pemerintah tentu sangat butuh pers sebagai penyalur sosialisasi program agar diketahui masyarakat. Pers berada di tengah-tengah dua pihak kedaulatan negara itu.
Lantas, apa hikmah yang bisa dipetik dari Hari Pers Nasional itu? Apakah sekedar kumpul-kumpul para wartawan, lalu bercerita banyak dengan pejabat-pejabat? Adakah konsep yang terlahir bagi pengembangan dunia media ke depan dan upaya peningkatan profesionalisme wartawan?
Ada seorang perempuan kampung. Dia bekas satpam pabrik. Lalu, suatu hari dia bersitegang dengan sejumlah wartawan yang meliput aksi demo di pabriknya. Ia disuruh atasannya untuk membatasi wartawan yang masuk ke pabriknya. Sekian tahun kemudian, dia kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia bingung apa yang harus dilakukan demi mempertahankan hidupnya beserta empat anaknya. Sebagai singleparent ia harus menghidupi anak-anaknya.
Berbagai usaha ia buka dengan modal uang pesangon. Namun, selalu bangkrut. Lalu suatu hari ia berpikiran untuk membuka usaha dengan menerbitkan sebuah tabloid. Beruntung sisa uang pesangon masih ada, sehingga ia cari orang yang sedikit memengerti tentang dunia penerbitan tabloid. Setelah ketemu, maka ia buka usaha penerbitan itu.
Hingga sekarang umur korannya sudah mencapai tujuh tahun. Terbit kontinu sebulan sekali. Ia rekrut sejumlah redaktur dan wartawan. Ia pimpin sendiri medianya sebagai Pemimpin Umum. Oplah pun terus menaik meski hanya kuat di angka 6.000 eksplar per edisi.
Jadilah, perempuan itu sebagai praktisi pers yang pantrang mundur. Setiap hari meski ia sebagai pemimpin umum tapi tak gengsi turun ke lapangan, menjalin relasi, mengembangkan langganan, iklan dan juga memantau kalai-kalau ada wartawannya yang berbuat tidak baik dan katanya melanggar kode etik wartawan.
Ia setiap hari tak hanya harus keluar masuk kantor-kantor dinas pemerintahan, tapi juga harus menyusuri perkampungan dengan melalui jalan terjal dan berliku. Tujuannya selain pengembangan juga mencari bahan berita yang unik dan menarik. Alhasil, selain jabatannya sebagai pemimpin umum, ia juga acap kali bertindak sebagai wartawan, mencari berita dan menulis sendiri beritanya.
Sisi lain, atas kegarangannya di lapangan, perempuan itu kerap mendapat ancaman serius dari sumber yang tidak mau diberitakan. Ancaman penganiayaan dan somasi kerap ia alami, namun tak urung bisa diselesaikannya sendiri dengan dialog alias damai, tanpa kuasa hukum.
Dalam obrolannya dia sering bertanya kepada penulis: “Apakah orang seperti saya masuk dalam katagori wartawan yang profesional, meski saya tidak masuk menjadi anggot dewan pers dan lembaga organisasi wartawan manapun? Apakah saya bisa disebut wartawan?***