Eisha M Rachbini, PhD, ekonom INDEF, dalam webinar “Merespon Pidato Kenegaraan dan Keuangan RAPBN 2022” (16/8/2021) menyatakan untuk reformasi struktur ekonomi nasional memang masih didominasi oleh sektor rumah tangga.
DARA – “Ke depan, bagaimana dapat mengalihkan pertumbuhan ekonomi yang lebih produktif, sehingga bisa lebih mendorong investasi, hilirisasi dan ekspor,” ujarnya.
Menyinggung pertumbuhan ekonomi, Eisha juga mengatakan petumbuhannya ditopang oleh ekspor. Namun, impor terlihat menurun yang sebenarnya gejala menurunnya impor terjadi sejak 2018.
“Ekspor non migas masih mendominasi positif, hal itu yang mendorong positifnya neraca perdagangan nasional. Ekspor juga didukung oleh membaiknya harga komoditas di pasar internasional sejak 2020 dan diperkirakan melonjak naik pada 2021 ini dengan membaiknya demand komoditas,” ujarnya seperti dalam rilis yang diterima redaksi, Rabu (18/8/2021).
Eisha juga mengatakan, sektor UMKM masih jadi tulang punggung perekonomian nasional karena mampu menyerap 97 persen tenaga kerja dan enam persen PDB.
“UMKM harus segera didorong menguasai sektor perdagangan digital. Sayangnya, penggunaan internet Indonesia masih tergolong rendah di ASEAN, di bawah 50 persen dari total individu masih di bawah Vietnam dan jauh di bawah Malaysia,” ujarnya.
Drajat Wibowo, PhD, ekonom senior INDEF menyatakan, pandemi dan PPKM sangat memukul ekonomi rumah tangga dari rakyat berpengahasilan harian.
“Hal itu karena jumlah orang yang bergantung kepada penghasilan harian baik formal ataupun non formal sangatlah besar. BPS mencatat, jumlah pekerja pada Agustus 2020 adalah 128,45 juta angkatan kerja. Sejumlah 77,67 juta (60,47 %) diantaranya adalah pekerja informal, baik pertanian maupun non pertanian. Dari pekerja formal, 27,48 juta di manufaktur dan sebagian besar mereka menerima upah harian,” katanya.
Drajat juga menyinggung pentingnya penanganan pandemi Covid-19, karena itu sebelum covid teratasi dalam arti menjadi penyakit yang mudah diobati (seperti flu biasa) melalui vaksinasi dan/atau ditemukan obat-obatan dan perawatan preventif medis atau kuratif, maka program perlindungan sosial (Perlinsos) amat sangat krusial. Dia harus berada dalam jantung program penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.
Dalam tinjauan Eko Listyanto, MS, Wakil Direktur INDEF, inflasi yang diproyeksikan tiga persen adalah signal dari perbaikan pertumbuhan ekonomi karena di era pertumbuhan biasanya akan diikuti dengan peningkatan inflasi.
“Inflasi di Indonesia biasanya relatif pelan-pelan dan tidak akan tiba-tiba melonjak karena pemulihannya juga perlahan. Ketika daya beli masyarakat terpukul di kala pandemi, maka saat terjadi pemulihan produsen tidak akan segera menaikkan harga karena daya beli masyarakat juga belum langsung pulih. BI rate juga diperkirakan tidak akan turun lebih dulu bahkan kemungkinan menaik bila terjadi gejolak di pasar keuangan,” kata Eko.
Menurut Eko yang harus diwaspadai pada 2022 tetaplah inflasi pangan pada saat pemulihan ekonomi. “Hal ini harus menjadi prioritas perhatian pemerintah terutama aspek aksesibilitas. Ketika demand meningkat tidak semua daerah punya stok cukup untuk mensuplai pasar, sehingga ada daerah-daerah yang minus dan menjadi efek inflatoir,” ujarnya.
Nilai tukar juga tetap optimis pada Rp14.350 per USD, yang mungkin adalah gambaran dari optimisme pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
“Tetapi jika speed of recovery dari negara-negara maju berbeda dengan domestik, maka mungkin ada capital outflow yang pindah ke negara-negara maju akibat lambatnya recovery dalam negeri,” ujar Eko.
Eko juga menyinggung bahwa pemulihan yang cepat di negara-negara maju adalah peluang besar bagi Indonesia untuk mendorong ekspor.***
Editor: denkur