DARA | MAJALENGKA – Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menawarkan terakota kepada perajing genting Kabupaten Majalengka, sebagai alternatif menghidupkan kembali industri tanah liat di daerah tersebut. Tawaran tersebut ia sampaikan saat pamor industri genting Kabupaten Majalengka kini sedang lesu.
Menurut dia, perajin Jatiwangi harus berinovasi membuat produk dari bahan tanah liat. Terakota atau produk keramik, bernilai seni dan dapat meningkatkan nilai tambah pemanfaatan tanah liat.
Jika pelaku usaha genting mau berinovasi dengan memproduksi terakota, Jatiwangi dapat kembali berjaya. Pemprov Jawa Barat siap mendorong dengan mencari peluang kerja sama dengan berbagai pihak agar Terakota Jatiwangi melejit.
“Budaya tanahnya tidak boleh berubah. Tapi produknya harus bisa menyesuaikan diri,” katanya, saat memberi sambutan dalam Indonesia Contemporary Ceramics Biennale (ICCB) di Jebor Hall, Jatiwangi Art Factory, tempo hari.
Penggunaan terakota dengan bahan tanah liat ini di antaranya untuk bentuk permukaan yang mendukung konstruksi bangunan pada sebuah desain arsitektur. “Bak permata yang perlu digosok, terakota sebagai komoditas potensial baik dalam seni juga ekonomi,” katanya.
Karena itu, dia mengajak para perajin tanah liat serta unsur Pemkab Majalengka kembali bersemangat menggali desain terakota yang responsif pada lingkungan, kebutuhan, dan kemajuan zaman. Gubernur memberi waktu enam bulan kepada Kabupaten Majalengka untuk membuat etalase Terakota.
Sehingga, nantinya para pengusaha atau peminat terakota dapat memilih model, bentuk, dan fungsi terakota yang dibutuhkan sekaligus diminati. “Ide, gagasan yang inovatif diharapkan dapat membawa kesejahteraan bagi para perajin,” ujarnya.
Industri genting Jatiwangi Kabupaten Majalengka pernah berjaya pada medio tahun 1990-an hingga 2000. Namun, kehadiran produk serupa yang lebih praktis, seperti asbes dan genting spandex, membuat pamor industri genting Jatiwangi menurun.
Industri genting Jatiwangi dipelopori H Umar Bin Ma’ruf untuk atap masjid di Dusun Cikarokrok, Kabupaten Majalengka, pada 1905. Dari situ, genting Jatiwangi terus menanjak, bahkan menjadi buah tangan dan bagian penting pembangunan kota-kota di Indonesia.
“Jatiwangi Majalengka punya sejarah panjang di mana kebudayaannya memaksimalkan anugerah Tuhan yang ada, yaitu tanah liat. Dalam perjalanannya ini jadi identitas dan tak boleh berubah,” katanya.***
Editor: Ayi Kusmawan