Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) ramai diperbincangkan berbagai kalangan. RUU itu dianggap merendahkan harkat dan martabat Pancasila serta disebut sebagai upaya untuk melegalkan komunisme di Indonesia.
DARA| JAKARTA- Salah satu pasal yang banyak dikritik adalah Pasal 7 yang memiliki tiga ayat, yaitu:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan;
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan;
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher menilai, pasal ini mengindikasikan bahwa yang menjadi rujukan dalam pembahasan RUU HIP adalah Pancasila 1 Juni 1945, bukan Pancasila yang dimaksud dan tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 sebagai hasil konsensus sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
“Jadi, RUU ini mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa dengan memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Artinya, kita kembali mengulang perdebatan yang seharusnya sudah final, yakni Pancasila dengan lima sila. Kita mundur lagi ke belakang dan mendistorsi Pancasila,” kata Netty dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/6/2020).
Selain pasal 7 yang bermasalah, Netty juga menyoroti tidak dimasukkannya TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran komunisme di Indonesia dalam RUU HIP.
“Jadi, wajar jika banyak pihak yang menduga adanya penyusupan kepentingan politik tertentu untuk melegalkan paham komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia yang sudah dilarang melalui TAP MPRS XXV/1966,” ujar istri mantan gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan itu.
Fraksi PKS, katanya, sudah dua kali memberikan catatan itu baik pada draf 9 April dan draft 22 April kepada pimpinan Badan Legislasi untuk memasukkan ketentuan terkait TAP MPRS ini dalam ketentuan mengingat dari RUU Haluan Ideologi Negara. Tetapi, sampai kini justru ketentuan itu tidak dimasukkan.
Menurut Netty, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara digali oleh para pendiri negara dari nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang subur di masyarakat Indonesia sejak dulu kala.
“Pancasila itu terpatri dalam pola pikir, olah jiwa dan pola tindak masyarakat Indonesia sejak zaman nenek moyang. Pancasila wujud dalam setiap denyut nadi dan tarikan napas bangsa Indonesia. Pancasila bukan sekadar kata-kata dalam teks buku. Jadi, menafsirkan Pancasila melalui UU hanya akan merendahkan nilai-nilai luhurnya dan membuatnya menjadi sempit dan terkungkung,” kata Netty.
“Akhirnya kita menempatkan Pancasila sebagai norma biasa yang penafsirannya dimonopoli dan berpotensi jadi alat menyudutkan pihak yang berlawanan sebagaimana dulu saat menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal,” imbuh Netty, seperti dikutip vivanews..
Netty juga mempertanyakan urgensi dibentuknya kementerian/badan kependudukan dan keluarga nasional untuk menjamin terlaksananya Haluan Ideologi Pancasila sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 38 ayat (2) RUU HIP.
“Pembentukan lembaga tersebut tidak tepat, karena negara sudah memiliki Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang berada dibawah Presiden. Harusnya ini sudah cukup dan tidak perlu membentuk kementerian atau badan baru ditengah semangat efesiensi yang disuarakan oleh Presiden Jokowi,” katanya.
Editor : Maji