Seorang pria dari negeri Habasyah berniat menjumpai Rasulullah SAW. Ia sudah beriman, namun di kepalanya bergelayut beberapa pertanyaan yang membuatnya galau. Ini kisahnya
Ia harus menuturkan sendiri pertanyaannya lalu dijawab oleh Sang Nabi. Jika tidak, kegalauannya tidak akan hilang. Dia tidak akan tenang.
“Ya Rasul Allah, Anda dimuliakan atas kami dari warna kulit dan risalah kenabian. Bagaimana menurut Anda jika saya beriman sebagaimana Anda beriman, lalu saya beramal seperti apa yang Anda amalkan. Apakah saya bisa menemanimu di surga?” tanyanya.
“Barang siapa menyatakan tiada tuhan selain Allah, maka dengannya itu cukup menjadi bukti tauhidnya di hadapan Allah. Dan, barang siapa yang bertasbih Mahasuci Allah, tercatat baginya 100 ribu kebaikan,” jawab Rasulullah. Pria Habsyi itu bertanya lagi, “Bagaimana nasib kami sesudah ini?”
Rasulullah menjawab, “Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, seseorang sungguh akan datang di hari kiamat dengan membawa amal yang sekiranya diletakkan di atas gunung, niscaya akan memberatkannya. Kemudian, satu nikmat saja dari nikmat-nikmat Allah itu ditimbang, maka hampir sepadan dengan semua amalnya, sekiranya tidak, maka Allah tidak mengaruniakan rahmat-Nya.”
Lalu, turun ayat surah al-Insan ayat 1 hinga 20. Ayat 20 berbunyi, “Dan, apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.”
Pria itu kembali bertanya, “Wahai Rasul Allah, apakah Anda bisa memandang saya seperti saya memandang Anda kelak di surga?” “Benar,” jawab Rasulullah.
Pria Habsyi itu menangis hebat hingga ia wafat saat itu juga. Ibnu Umar berkata bahwa ia melihat Rasul Saw sendiri menurunkan jenazah pria Habsyi itu ke liang lahat. (HR Thabrani).
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah ini. Pertama, antusiasme para sahabat bertanya langsung kepada Rasul SAW. Pada masa hayat beliau, apa pun problematika hidup ditanyakan langsung pada Nabi SAW. Beliau adalah rujukan atau referensi utama segala problem yang mendera mereka. Beliau pun sebagai teman berbagi kebahagiaan. Para sahabat mengerumuni beliau untuk mendengar untaian nasihatnya lalu bertanya mengutarakan masalah mereka.
Semangat belajar para sahabat sangat besar. Padahal, tidak sedikit di antara mereka yang sudah berusia lanjut. Generasi tua tidak mau kalah dengan yang muda. Majelis Rasul SAW adalah majelis lintas usia.
Saat ini ketika Rasul SAW sudah wafat, otoritas fatwa keagamaan dipegang oleh para ulama yang terkenal kealiman dan kesalehannya. “… Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui. (QS an-Nahl: 43).
Sehingga, ulama seyogianya harus berupaya menjadi referensi atas permasalahan ummat selayaknya Rasul SAW. Ulama harus siap menyimak keluh kesah umat dan mengupayakan solusi cerdasnya.
Kedua, kemuliaan ada pada keimanan. Kemuliaan hakiki bukan dari warna kulit, bangsa tertentu, dan golongan apa pun. Keimanan adalah kuncinya.
Kedudukan siapa pun dalam Islam bisa berbeda sesuai kadar keimanan dan ketakwaannya. Surga terbuka bagi siapa pun dan berkulit apa pun, asalkan dia beriman kepada Muhammad SAW dan menjalankan ajarannya.
Ketiga, hidayah yang kita peroleh adalah hadiah Allah semata. Nikmat demi nikmat-Nya tidak akan bisa kita bayar seberapa syukur pun kita dan sehebat apa pun ibadah kita. Sekiranya pun kelak kita bisa masuk surga, bukan murni karena diri kita, melainkan taufik dan hidayah Allah. Kita hanya bisa berdoa semoga diberi keistiqamahan dan selalu dipelihara oleh Allah.***
Editor: denkur
Artikel ini diambil seutuhnya dari republika.co.id, Jumat (8/11/2019)